Ceritanya, beberapa hari yang lalu pas lagi bersih-bersih lemari, saya menemukan buku Who Moved My Cheese karya Spencer Johnson, M.D. Edisi terbitan lawas ini terdiri dari 105 halaman, hurufnya dicetak besar seperti buku anak SD. Kalimatnya juga sederhana dan dijamin nggak membuat kulit dahi berkerut.
Dengan tampilan demikian, mudah membacanya hingga selesai dalam waktu singkat.
Dulu pernah membaca buku ini, tapi cuma sekilas saja. Pada waktu itu, isinya belum relevan dengan situasi dunia yang masih aman dan damai. Namun, sejak pandemi merebak, kisah dalam buku ini jadi akrab. Banyak terjadi perubahan yang membuat rumit jika tidak siap beradaptasi. Salah satunya adalah teknologi.
Nggak mudah kalau mau berubah, apalagi jika sudah masuk dalam daftar gaptek-er. Tapi, menolak perubahan dan enggan belajar lagi, akibatnya bisa ketinggalan dari orang lain yang sudah melesat kencang. Yap, seperti tokoh-tokoh dalam Who Moved My Cheese?.
Sekilas isi buku seperti kisah dongeng, tapi sebenarnya cerita ini disampaikan oleh figur Michael pada reuni singkat dengan teman-teman sekelas dulu. Bermula dari keluhan mereka tentang carut-marut hidup yang berbeda dari pelajaran di sekolah, Michael memaparkan kisah tentang dua tikus, Sniff dan Scurry, versus dua kurcaci, Hem dan Haw, dalam mengatasi tantangan.
Kisahnya dimulai dengan kedua tikus yang identik dengan hewan, ternyata lebih mudah beradaptasi daripada kurcaci, yang lebih dekat dengan karakter manusia. Dengan penciumannya yang tajam, tikus Sniff dan Scurry, tahu kalau persediaan keju yang mulai menipis. Mereka pun keluar dari pojokan nyaman, Stasiun C (Cheese), untuk pergi menyusuri labirin misterius.
Beda dengan Hem dan Haw yang masih mengandalkan status kelas atasnya, dua kurcaci ini menolak fakta kalau keju sudah semakin langka. Mereka yakin, entah bagaimana caranya, persediaan keju akan kembali stabil. Kelangkaan itu cuma ilusi, toh dari dulu aman-aman saja.
Hingga kemudian prediksi Sniff dan Scurry terbukti, keju benar-benar habis dan kelaparan mulai mengancam.
Lain lagi dengan Hem dan Haw. Mereka dihantui kepanikan karena persediaan makanan terus menipis. Terbiasa dengan posisi stabil, awalnya Hem dan Haw menolak mencari persediaan keju baru. Keduanya justru marah-marah karena menganggap ada yang mengurangi porsi keju.
Pada pertengahan kisah, Haw akhirnya mengikuti jejak tikus untuk keluar dari Stasiun C (Cheese), pergi menyusuri labirin. Dia tahu harapan mendapat tambahan keju di tempat lama sudah pupus. Keju tidak tumbuh sendiri seperti pepohonan. Kalau mau bertahan hidup, Haw sebaiknya mencari lokasi baru.
Sementara Hem tetap bertahan dengan keyakinan kalau situasi akan kembali normal.
Hem dan Haw sama-sama diliputi pikiran-pikiran negatif tentang situasi dan kondisi mereka. Bedanya Haw mau mengikuti perubahan, belajar menelusuri jalan baru, meskipun tanpa pengalaman. Sementara Hem menyerah pada nasib.
Petualangan Haw bukan berarti bebas tantangan. Banyak kesalahan dibuatnya, beberapa kali tersesat, termasuk menemukan keju yang kualitasnya jauh dari harapan. Namun, Haw terus berusaha, bukan menyerah pada rasa takut. Dia menganggap labirin adalah lorong-lorong fantasi dengan variasi impian yang sudah menunggu di suatu tempat.
Hingga di akhir perjalanan dia menemukan kejutan!
Kedua kurcaci ini punya pikiran negatif, namun respon mereka membuat hasil berbeda. Apa saja pikiran-pikiran negatif mereka?
- Takut
Jadi, ketika persediaan keju menipis, mereka terus menetap di stasiun C. Ketakutan pada dunia labirin yang tak pernah dijelajahi, membuat kedua kurcaci tersebut bertahan di tengah ancaman kelaparan.
Namun, kemudian Haw berubah pikiran. Daripada fokus pada cerita tentang jebakan labirin, Haw lebih takut mati kelaparan. Boleh jadi dia berpikir, tinggal di Stasiun C atau berkelana di antara labirin, resikonya sama saja. Sama-sama bisa mati karena kelaparan atau mati tersesat di labirin.
Rasa takut justru membuatnya berani melangkah pada tempat yang sama sekali asing. Pikiran negatif ini mendorongnya untuk mencari pengalaman baru pada lokasi yang belum pernah disinggahi. Ketakutan justru jadi motivasi Haw untuk terus maju.
- Cemas
Namun, Haw lebih cemas lagi dengan keadaan mereka di masa mendatang. Siapa yang bisa memastikan apakah besok masih ada persediaan keju? Adakah yang mau menolong mereka kelak, sementara makanan terus menipis?
Daripada berasumsi terus dan berkutat dengan kecemasan, Haw memilih untuk keluar dan melihat langsung bagaimana situasi di labirin. Asumsi jarang memberikan solusi, bertindak langsung boleh jadi pembuktian terbaik.
- Imajinasi
Bagaimana kalau nanti mereka tersesat di jalan? Apa jaminan persediaan keju masih ada di luar? Jangan sampai sia-sia berjalan jauh, jika hasilnya tidak ada. Karena overthingking duluan, kedua kurcaci ini tetap sembunyi di Stasiun C.
Kemudian Haw memilih mengubah imajinasi menakutkan menjadi fantasi yang menyenangkan. Alih-alih memikirkan marabahaya yang mungkin muncul dari labirin, dia hanya membayangkan kejutan dan tantangan yang akan ditemukannya di sana.
Karena pola pikirnya sudah berubah, Haw jadi bersemangat mengharapkan petualangan seru yang akan dilalui, yakin menemukan keju baru. Setiap kesalahan atau kesulitan yang terjadi dalam labirin, dibawa dengan tawa saja, persis seperti namanya (Hawhawhaw).
Hem dan Haw sama-sama terjebak dalam pikiran negatif. Hanya saja, Haw menolak takluk dan memilih jalannya sendiri. Sedangkan Hem terus bertahan di tempat lama sambil terus berkutat dengan pikiran negatif. Hingga akhir cerita nasib Hem masih misterius, persis seperti cerita anak-anak dulu, Pilih Sendiri Petualanganmu. Pembaca diajak menarik kesimpulan.
Usaha Haw mengubah pikiran negatif menjadi peluang untuk menemukan pengalaman baru, mengingatkan saya pada awal pandemi tahun 2020 lalu.
Kebayang, kan, setiap hari melihat tembok rumah selama karantina massal? Kata orang, kalau terus menerus melihat hal yang sama setiap hari, bisa kebingungan sendiri. Ada yang menyarankan, carilah kegiatan baru supaya hati tetap tenang.
Tapi, kegiatan apa?
Kalau berkebun, biasanya tanaman yang disemai justru banyak yang mati. Kalau memasak, sering rasa makanannya jadi kacau. Kegiatan yang banyak dikerjakan orang lain, kok nggak ada yang menarik. Kayaknya harus cari ide lain.
Karena di rumah ada gadget dan wifi, maka dicobalah buat blog. Siapa tahu menyenangkan? Benar, awalnya memang hanya coba-coba, karena kelihatannya mudah saja buat blog. Tinggal ketak-ketik, selesai!
Ternyata salah besar.
Membaca blog saja jarang, tiba-tiba sekarang saat mau menulis blog, maka yang muncul malah kekacauan. Tulisannya gimana, temanya apa, kadang membingungkan. Nggak terhitung berapa kesalahan yang dibuat.
Tapi, namanya juga sudah minat dan niat. Kalau sudah ada niat, biasanya lebih mudah untuk mau belajar. Jadi, sejak pandemi, saya terus cari info tentang blog.
Banyak istilah-istilah dalam blog yang belum dipahami. Bagi yang terbiasa nge-blog, mungkin sudah familiar dengan seo, ga, da/pa, atau kw. Tapi sama pemula istilah ini sukses buat minder. Kalau belum paham yang beginian, ketahuan jam terbangnya masih merangkak. Hehehe. Langsung kelihatan mana yang sudah berpengalaman, mana yang masih perlu sering terjun ke lapangan.
Seperti kisah Haw, walaupun sulit dan agak membingungkan, tetaplah dipelajari dulu. Menulis blog memang agak ribet, karena bukan hanya belajar tentang kepenulisan, desain atau gambar, tapi juga istilah-istilah yang diatas tadi, alias paham IT.
Sebenarnya bisa saja nggak peduli dengan perkembangan IT dan tetap ikut cara lama, nulis-nulis seperti biasa, misalnya. Tapi, melihat orang lain terus berkembang, sementara kita tetap terpaku di tempat lama, kayaknya kurang pas kalau cuma berdiam diri. Nggak ada salahnya penasaran, karena ternyata ... asyik juga belajar blog.
Pesan dari buku Who Move My Cheese ini cocok dengan situasi setelah melewati pandemi 2 tahun. Teruslah cari kesempatan untuk menemukan pengalaman baru, karena ada peluang untuk memperluas posisi nyaman. Seperti Haw, buatlah rasa takut dan cemas jadi motivasi untuk berkarya. Beranilah berimajinasi, walaupun jalan yang ditempuh masih misterius.
Komentar
Posting Komentar