Ingin mencoba masakan tradisional berbahan ikan mungil yang unik? Suka dengan racikan bercita rasa pedas? Kalau berkunjung ke Medan, bolehlah memilih hidangan ikan sulung-sulung.
Sekilas tampilannya seperti gulai ikan biasa, atau di sini disebut arsik. Warnanya kekuningan kunyit, serta terselip potongan cabai kemerahan dalam balutan bumbu.
Namun, jangan terkecoh dengan namanya, ya. Walaupun tertera kata 'sulung', tidak berarti ikan ini berasal dari spesies tertua. Itu hanya sepenggal nama pembeda identitas, bukan gambaran karakter. Jadi, ikan sulung-sulung tidak termasuk jenis langka dan dilindungi.
Sulung juga bukan berarti berukuran jumbo. Ikannya mungil sekali, sekitar 2 - 3 cm. Dulu saya mengira hidangan ini sejenis ikan teri yang dicampur bumbu gulai. Ternyata salah total. Sulung-sulung merupakan ikan segar air tawar yang dipanen dari kolam di pinggiran kota. Warna aslinya keperakan dengan sisik-sisik halus.
Saya membeli makanan ini dari Pasar Pancur Batu, Deli Serdang. Untuk tiba di pasar tradisional tersebut, perlu menempuh perjalanan sekitar satu jam dari pusat kota Medan. Kita akan melewati lokasinya ketika menuju kawasan wisata Brastagi.
Pancur Batu merupakan kota kecil, tapi kaya akan kuliner dan beragam tempat wisata menarik. Udaranya pun sejuk, cocok untuk healing sejenak dari hiruk pikuk kota besar.
Oya, di Sumut masyarakat menyebut 'pasar' dengan istilah 'pajak'. Tapi bukan kantor pajak, lho. Beda lagi. Jadi, penulisan selanjutnya kita sebut Pajak Pancur Batu supaya enggak rancu.
Siapa tahu suatu hari nanti berkunjung ke mari, jangan kaget kalau diajak jalan-jalan ke pajak. Ajakan ini artinya belanja sekaligus makan-makan, bukan kewajiban membayar tagihan tahunan. Oke?
Makanan Tradisional dengan Cita Rasa Pedas
Untuk memperoleh ikan sulung-sulung, saya pergi pada hari Sabtu. Kalau mau belanja ke Pajak Pancur Batu, memang sebaiknya pilihlah pas Sabtu.
Saat itu, pajak sedang pekan. Istilah pekan artinya, semua pedagang berkumpul lebih ramai daripada hari biasa. Komoditinya pun lebih lengkap dan bervariasi dengan harga murah meriah.
Hari biasa bukan berarti tidak ada penjual. Pajak tetap rutin dibuka, hanya saja tidak seramai akhir pekan. Variasi komoditasnya pun kurang lengkap dibandingkan Sabtu. Jadi, kalau mau puas belanja, datanglah pada hari ini.
Saya sendiri sudah lama tidak mencoba ikan sulung-sulung. Dulu pernah menyantapnya dan sering kepedasan. Lama terlupakan, sekarang ingin icip-icip lagi. Sudah berubahkah tampilan dan rasanya?
Ikan versi dulu berukuran agak besar sekitar 3 - 5 cm. Makanya, saya agak terpana melihat ikan sulung-sulung sekarang yang semakin menyusut. Posturnya lebih mungil dari dulu. Apakah para ikan hidup berhemat karena harga-harga naik? Hmm....
Yang tetap sama dari penganan ini adalah taburan cabai khas makanan Sumatera. Makanan di sini memang cocok untuk yang berselera pedas mengigit. Selain selera turun temurun, ladang cabai memang melimpah di daerah ini.
Ya, mungkin itu alasan mengapa banyak makanan Sumatera bercita rasa pedas. Jadi, kalau tidak terbiasa dengan kepedasan, bersiaplah lidah berjoget walaupun tiada musik mengalun.
Selain cabai, ada satu jenis campuran yang membuat saya suka menyantap sulung-sulung. Pernah dengar istilah kacang koro? Ini termasuk dalam keluarga kacang-kacangan, cuma agak berbeda dengan saudaranya. Kacang ini berukuran lebih gemuk seperti uang logam Rp 500. Untuk beragam gulai ikan, kacang koro bisa menjadi campuran tepat.
Dari luar tampilan kacang ini kelihatan keras dan mungkin akan menantang ketangguhan gigi. Namun, setelah dicoba ternyata lembut nian. Enggak perlu usaha keras untuk menaklukkannya. Kacang ini bakalan hancur dalam sekali kunyahan gigi. Prinsip jangan menilai sesuatu dari tampilan luar, boleh jadi berlaku juga untuk makanan.
Selain cabai, ikan, dan kacang koro, sulung-sulung dicampur pula dengan asam kincung dan cekala, atau sering disebut kecombrang. Tak ketinggalan ada bawang, kunyit, dan serai.
Saya bukan ahli per-bumbu-an, tapi kalau boleh menebak dalam hidangan ditambahkan kelapa yang krenyes-krenyes saat dikunyah. Dicampur nasi untuk makan siang, masakan ini nyam-nyam sekali. Walaupun dari Sumut, dijamin halal, kok.
Akhir Pekan bersama Makanan Tradisional
Kalau rajin menyusuri pasar tradisional, banyak masakan tradisional anti mainstream yang belum terekspos, seperti ikan sulung-sulung. Saya belum pernah menemukan hidangan ini di rumah makan. Jangankan masuk daftar menu, namanya pun hanya tersebar dari mulut ke mulut.
Karena sulit menemukan menu ini di rumah makan biasa, kalau sedang selera harus mencarinya di Pajak Pancur Batu. Soal rasa, masakan tidak kalah jika dibandingkan dengan olahan ikan lain.
Selera memang bersifat personal. Untuk saya, ikan sulung-sulung pas melengkapi sajian makan siang akhir pekan. Saya enggak perlu repot lagi memasak. Ditambah nasi dan sedikit sayuran, hidangan sudah tersaji lengkap.
Sebenarnya, ikan sulung-sulung mentah masih ada dijual, walaupun agak jarang. Racikan tambahan bisa dibeli pada penjual bumbu. Namun, bagi saya makanan yang sudah jadi tetap lebih mengena. Kalau saya yang masak, takutnya berubah pula nanti rasanya. Wkwkwk.
Jika ada kesempatan, yuk, jelajah pasar-pasar tradisional di sekitar kita untuk menemukan kuliner unik. Negeri ini kaya dengan beragam masakan khas yang belum gencar diulas. Jika bukan kita sebagai anak bangsa, siapa lagi yang akan memperkenalkannya pada masyarakat?
Mari promosikan kuliner anak negeri.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Ceritaku
Label:
Ceritaku
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar