Langsung ke konten utama

Stasiun Bandar Khalipah, Batang Kuis, Araskabu, dan KA Bandara Medan

 



Naik kereta api, tut ... tut ... tut .... Siapa hendak turut?


Ada yang belum pernah menyanyikan lagu di atas? Zaman TK atau awal SD, lagu tersebut populer di kalangan sejuta anak-anak. Liriknya sederhana, mudah diingat, dan dipahami. Siapapun bisa melantunkannya dengan versi dan gaya masing-masing.


Sejak dulu kereta api sudah menjadi salah satu alat transportasi populer. Kendaraan ini bebas macet dan kerap dipilih sebagai angkutan ke luar kota. Hanya saja,  tidak semua lokasi pas untuk dilalui kereta api, seperti daerah pegunungan misalnya. Situasi tersebut tentu berbeda dengan bis, mobil, atau motor yang lebih fleksibel dan tersedia di mana saja.


Karena tidak semua daerah menyediakan fasilitas ini, naik kereta api bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan. Bersama kereta, tidak ada penumpang yang hampir 'jantungan' karena sopir bis membawa kendaraan dengan kecepatan super jet. 


Atau di pesawat ada turbulensi yang menyebabkan orang ketakutan dan harus memakai seat belt. Dalam kereta api situasinya tenang dan stabil. Penumpang cukup duduk di dalam gerbong sambil memandangi pepohonan yang seperti berlarian. 


Namun,  karena umumnya kereta api digunakan untuk transportasi ke luar kota dengan jarak tempuh berjam-jam, alat transportasi ini belum tentu cocok dengan semua orang. Apalagi jika bukan musim liburan. Kan, enggak mungkin waktu sekolah atau bekerja diabaikan demi naik kereta api ke luar kota? Bisa berabe nanti. Jadi,  gimana, apa mau melupakan saja impian naik kereta api? Janganlah. 


Untuk yang tinggal di daerah Medan sekitarnya, sudah lama ada kereta api jarak pendek tujuan Binjai dan Bandara Kuala Namo (KNO). Saya sudah pernah mencoba keduanya. Masing-masing menempuh waktu sekitar 20 menit ke Binjai dan 30 menit ke KNO. 


Penumpang tidak perlu durasi lama untuk menikmati suasana dan pemandangan dari dalam gerbong. Dulu awal menumpang kereta, rasanya senang sekali  bisa turut serta. Sesudah beberapa kali naik, lama kelamaan jadi biasa saja.


Namun, sekarang rasa penasaran saya kembali timbul, saat mendengar sudah dibangun tiga stasiun transit KA Bandara Railink antara Medan dan KNO. Stasiun kecil tersebut (kelas 3) adalah Bandar Khalipah, Batang Kuis dan Araskabu. Supaya dapat informasi lengkap, saya searching di internet dan tahu kalau jarak tempuh antara masing-masing stasiun sekitar 10 menit. 


Wah, jadi penumpang naik turun kereta setiap 10 menit. Boleh juga dicoba. Jarang-jarang ada kereta api jarak pendek begitu. 




Yuk, kita mulai perjalanan pendeknya dari dari KA Bandara Railink di Medan.

Ayo, kita mulai dengan KA Bandara Railink


Stasiun Bandar Khalipah

Stasiun ini terletak di Percut Sei Tuan, Deli Serdang, atau lebih dikenal dengan daerah Tembung. Resmi dibuka pada 28 September 2022, harga tiket hanya Rp 10.000. Pembelian dilakukan melalui mesin tiket. Semua pembayarannya harus non tunai, enggak bisa lagi menggunakan uang konvensional. Jadi,  sebelum berangkat sediakanlah e-wallet, QRIS, dan kawan-kawannya. 


Mesin Pembelian Tiket Kereta Api


Kalau masih belum familiar dengan mesin pembelian tiket, jangan khawatir bakalan kebingungan. Selalu ada petugas yang siap membantu calon penumpang membeli tiket. Tinggal sebut saja tujuannya, petugas akan menyelesaikan transaksi, kemudian penumpang men-scan QRIS dan selesai. Tiket sudah di tangan dan tinggal menunggu panggilan kereta.


Dengan menumpang kereta bandara, perjalanan yang ditempuh ke stasiun Bandar Khalipah dari Medan hanya sekitar 10 menit. Kalau naik kendaraan, nyaris mustahil menempuh waktu begitu singkat dari stasiun KA di pusat kota, menuju daerah Tembung  yang berlokasi di pinggiran. Macetnya itu, lho, waktu lebih banyak habis di perjalanan. 


Gerbang Stasiun Bandar Khalipah


Jadi, dengan fasilitas kereta, maka warga sekitar Tembung yang hendak ke bandara  enggak perlu repot lagi ke pusat kota. Begitu juga yang mau ke luar kota, seperti Tanjung Balai. Mereka tinggal menunggu di stasiun Bandar Khalipah.


Saat sampai di stasiun Bandar Khalipah hanya ada dua orang penumpang, termasuk saya, yang turun. Lainnya lanjut lagi. Kayaknya,  masih sedikit warga yang menggunakan kereta ini. Padahal kalau dilihat dari waktu perjalanan, boleh juga kecepatan jarak tempuhnya yang hanya sepuluh menit. Kereta api ibarat melesat meninggalkan kendaraan jalanan. Apalagi  jika naik angkot, repot berapa kali berganti kendaraan untuk sampai ketujuan. Ongkosnya pun mungkin lebih mahal. 


Sesampai di pelataran stasiun, sudah banyak orang yang menunggu dengan membawa koper. Selain ke bandara, ada juga rombongan yang ingin jalan-jalan ke Medan. Kebetulan hari itu memang hari Minggu. Ternyata banyak juga yang hobi perjalanan kereta api pendek seperti saya. Hanya saja, penumpang kereta dari Bandar Khalipah ini enggak seramai Medan - Binjai. Kalau jurusan ini jangan ditanya, yang rela berdiri pun banyak. 


Peron Stasiun Bandar Khalipah


Sebenarnya, setelah dari Bandar Khalipah saya mau balik lagi ke Medan. Tetapi, setelah dipikir-pikir, rasanya kok tanggung. Sudah sampai di sini, penasaran gimana pula dengan stasiun Batang Kuis. Apalagi jaraknya enggak terlalu jauh. Jadi? Ya,  lanjutlah, mumpung belum kesorean. 


Stasiun Batang Kuis

"Ini stasiun Batang Kuis, memang mau turun di sini?"


Begitu pertanyaan petugas stasiun ketika saya keluar dari kereta. Saya menggangguk dan agak geli melihat wajah petugas yang kebingungan. Artinya, jarang ada penumpang kereta yang turun di sini. Saya melihat sekeliling. Memang hanya ada satu dua orang penumpang beserta beberapa petugas stasiun. Suasananya berbeda dengan stasiun Bandar Khalipah tadi.


Gerbang Stasiun Batang Kuis


Kalau stasiun Bandar Khalipah cukup ramai karena masih berlokasi di pemukiman penduduk, maka Batang Kuis lebih lengang. Tetapi, bukan berarti terpencil, ya. Jalan sedikit keluar dari stasiun, akan ketemu pasar Batang Kuis yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga. Meskipun cukup dekat dengan pemukiman, stasiun ini tetap sepi karena tidak ada orang duduk menunggu seperti di stasiun sebelumnya. 


Naik kereta jarak pendek begini perlu niat kuat dan waktu luang ekstra. Penumpang cuma sebentar berada di gerbong, yaitu sekitar 10 menit. Menunggu kedatangan kereta berikutnya yang agak lama, sekitar hampir sejam atau paling cepat 45 menit. Jadi, penumpangnya harus betah nongkrong di stasiun, atau jalan-jalan sebentar ke luar melihat sekeliling. 


Peron Stasiun Batang Kuis 


Saya memilih menunggu di stasiun, soalnya kurang familiar dengan daerah Batang Kuis. Nanti nyasar pula entah ke mana dan ketinggalan kereta. Mau menunggu kereta berikutnya sejam lagi? Waduh, enggaklah. Yang penting sudah tahu dulu lokasinya. Lain kali siapa tahu bisa berkunjung lagi. 


Pas lagi duduk di pelataran stasiun, ada beberapa anak bermain di gerbong-gerbong tua yang diparkir pada salah satu jalur rel. Anak-anak itu membawa sepeda dan meletakkannya di atas rel lain yang segera dilintasi kereta. Tahu darimana ada kereta bakalan lewat? Dari kejauhan, sudah kedengaran pluitnya. Namun, anak-anak itu tetap asyik bermain seakan kereta masih jauh di ujung langit.


Untung aksi mereka segera dilihat petugas dan langsung ditegur dengan suara keras. Memang perlu juga suara keras, demi keselamatan mereka, kan? Anak-anak itu pun segera  menyingkirkan sepedanya dari rel. Benar saja, tak lama kemudian lewatlah kereta api barang tanpa berhenti di stasiun. Nge-gas, kata anak sekarang. Kecepatannya lebih kencang dari mobil. 

Gerbong-gerbong tua yang parkir di stasiun Batang Kuis 


Ternyata di alam bebas begini (ups, alam bebas), kecepatan kereta api bisa maksimal dan melesat melebihi kendaraan bermotor. Kereta api yang biasa kita lihat melintas di perkotaan termasuk lambat. Situasinya berbeda jika melintas di rel, apalagi kalau tidak berhenti di stasiun. Ular besi ini bergulir seperti angin yang berhembus sekilas. 


Jadi, lebih baik berhati-hati kalau berada di sekitar lokasi lintasan kereta, serta patuhi saja rambu-rambu yang diturunkan saat kereta mau lewat. 


Anak-anak yang tadi bermain di sekitar gerbong pun segera beranjak pergi setelah kereta barang itu berlalu. Mereka mungkin sudah biasa berseliweran di sekitar rel, makanya tenang-tenang saja walaupun ada kereta yang mau lewat. 


Orang luar yang rada waswas melihat para bocah bermain di sana. Padahal, walaupun sudah terbiasa, yang namanya naas kita enggak pernah tahu, kan. Semoga saja semua tetap aman seterusnya. 


Oya, sebenarnya ada satu stasiun lagi sebelum KNO, yaitu Araskabu. Cuma, berhubung sore sudah menjelang, saya memilih pulang dulu. Lain kali saja dilanjutkan. Lokasi rumah saya dengan stasiun ini ibarat dari ujung ke ujung kota. Nanti kemalaman pula di jalan. Belum lagi macetnya. Sekarang pulang adalah pilihan terbaik.

Yuk, pulang dulu

Stasiun Araskabu

Hari lain saya, mengunjungi Araskabu, yaitu stasiun transit terakhir sebelum KNO. Dalam bayangan saya, stasiun Araskabu yang sudah dekat bandara ini pasti lebih sepi dari Batang Kuis kemarin. Soalnya, lokasi KNO saja berada jauh dari pemukiman padat untuk meminimalisir gangguan penerbangan, seperti masa bandara Polonia dulu. Saya sudah membayangkan kalau stasiun tersebut dikelilingi banyak pepohonan seperti hutan. 


Gerbang stasiun Araskabu


Peron Stasiun Araskabu


Ternyata gambaran dalam benak saya tidak seratus persen benar. Setiba di sana, stasiun Araskabu memang lebih sepi dari Batang Kuis. Hampir tidak kelihatan rumah-rumah warga. Hanya saja, lokasinya bukan dikelilingi pepohonan seperti hutan, tapi ladang sayuran penduduk. 


Banyak burung bangau melintas dan hinggap di tembok dan pohon tinggi. Memang setahu saya, di sekitar sini ada kolam ikan atau sawah yang sering disinggahi bangau. 


Ladang penduduk dilihat dari peron Stasiun Araskabu


Suasananya hening sekali nyaris tidak ada suara kendaraan melintas. Kalau mau menghirup udara segar sambil melihat kehijauan, serta burung-burung bangau berseliweran, bolehlah di sini. Namun, keheningan itu enggak berlangsung lama karena muncul pesawat melintas di langit. Oya, ternyata Araskabu memang sudah dekat KNO, sekitar 10 menit lagi naik kereta api. 


Di stadiun itu, hanya ada beberapa petugas di loket tiket. Selebihnya lengang. Mungkin cuma saya yang betah memandangi suasana hening begini. Buktinya, saya duduk cukup lama sendirian sampai calon penumpang bermunculan ketika kereta berikut hampir tiba.


Ada kereta api jurusan luar kota mau singgah di sini. Bukan hanya Railink, kereta jurusan Tanjung Balai pun berhenti di Stasiun Araskabu untuk mengangkut penumpang. Beberapa orang menuju kota tersebut naik dari peron. Saya dengar kereta menuju Siantar juga lewat. 


Pesawat terbang dilihat dari peron Stasiun Araskabu


Bukan hanya keluar kota. Warga Lubuk Pakam yang mau ke Medan pun ikut menunggu di sini, walau belum terlalu ramai. Perjalanannya cuma sekitar 20 - 30 menit tanpa macet. Jadi, sekarang bukan orang dari atau menuju bandara saja yang naik Railink. Kereta ini ibarat bis tanpa roda yang meluncur di atas rel. 

Dari Araskabu, saya langsung pulang ke Medan. Melanjutkan ke KNO? Enggaklah, saya sudah beberapa kali ke sana. Lagipula saya hanya mau melihat stasiun transit sekalian ingin mencoba lagi naik turun kereta. Walaupun pun sebentar, tetap asyi kok. Jarang-jarang ada kereta bandara yang bisa naik turun setiap 10 menit dengan harga terjangkau. Hehehe. 


Berapa harga tiket naik turun kereta api tadi? Seperti yang sudah saya tulis di atas, Medan - Bandar Khalipah hanya Rp 10.000. Sedangkan stasiun lain tergantung harga promo. Kalau dapat tiket promo, nominalnya bisa lebih murah dari harga tadi. 


Tetapi, kalau tidak ada promo, maka penumpang bakalan kena tarif berlipat. Jadi, sebelum membeli tiket sebaiknya tanya dulu pada petugas. Pada jadwal tertentu, Railink memasang tarif promo. Lumayan, lho, selisihnya.


Melatih Kesabaran bersama Kereta Api

Bagi saya, naik turun kereta api melewati 3 stasiun seperti melatih kesabaran. Bagaimana tidak? Penumpang cuma duduk sekitar 10 menit dalam gerbong, kemudian turun di stasiun tujuan. Kalau mau naik kereta berikut, minimal harus menunggu sekitar 45 menit. 


Jadi, lebih lama menunggu di stasiun daripada duduk dalam gerbong. Memang perlu niat dan kesabaran melakukannya, tapi saya anggap saja sebagai latihan. Yap, latihan sabar menghadapi tantangan hidup. 


Meskipun demikian, bagi saya perjalanan ini menyenangkan. Sudah lama enggak naik kereta, boleh juga kepo sama stasiun transit baru. Walaupun singkat, nyaman lho berada di gerbong kereta bandara yang bersih dan full AC. Sepanjang perjalanan banyak pemandangan hijau yang menyejukkan mata. 


Kalau masih melintas di Medan, saya bisa melihat pemandangan kota dari atas. Setiba di pinggiran, maka sawah dan ladang-ladang penduduk bertebaran dilihat dari jendela gerbong. 



Pemandangan kota Medan dari atas rel kereta


Saat kereta melewati pemukiman padat penduduk, banyak anak melambaikan tangan. Mau dibilang lucu, waktu masih kecil saya juga hobi melambai-lambai heboh pada pesawat terbang yang sedang melintas di langit. Padahal, penumpangnya belum tentu melihat. Hahaha. Tingkah polah anak-anak antar generasi memang jarang mengalami perubahan.


Pemandangan hijau sepanjang perjalanan


Untuk yang hobi ngemil atau mudah kelaparan, sebaiknya sediakan cemilan serta minuman saat singgah di stasiun transit. Pada tiga stasiun tersebut belum ada pedagang makanan. Untuk minuman, hanya tersedia mesin penjual minuman otomatis di stasiun Bandar Khalipah. Pengunjung stasiun transit memang belum banyak. Mungkin kalau sudah bertambah, bakalan ada fasilitas baru.


Untuk fasilitas umum, pada setiap stasiun transit ada toilet, mushola, dan lantai tingkat dua untuk istirahat. Di lantai ini pengunjung bisa rebahan sambil mengisi daya hp. Lumayanlah untuk melepas lelah sejenak seraya menunggu kedatangan kereta berikutnya.



Tempat beristirahat di lantai dua yang tersedia pada setiap stasiun transit 


Walaupun calon penumpang belum sebanyak stasiun utama KA Medan, tapi tempat transit ini memudahkan warga sekitar Tembung, Batang Kuis, hingga Lubuk Pakam untuk sampai ke KNO atau Medan. Bebas macet, ongkos cukup terjangkau, dengan fasilitas kereta yang nyaman, memungkinkan KA Bandara Railink menjadi transportasi pilihan warga. 


Cuma kereta biasanya ramai saat menjelang sore. Pada waktu tersebut, penumpang dari bandara menuju Medan mulai penuh. Berbeda dengan perjalanan saya keluar dari Medan pada siang hari tadi. Kalau waktu siang, saya dapat Free Seat karena gerbong agak melompong. Asyik, kan, bisa pilah-pilih bangku.




Dalam gerbong Railink yang nyaman dan full AC


Jika ada waktu, yuk, coba naik kereta api ke tiga stasiun transit. Di dalam kereta adem, tenang, dan suasana stasiun yang berada di pinggiran kota cocok untuk menghirup udara segar. Minimal kita bisa menjauh sejenak dari hiruk-pikuk dan kemacetan. 


Jadi, sekarang menikmati sensasi naik kereta api enggak perlu lagi harus ke luar kota. Perjalanan bisa dilakukan dalam kota selama beberapa menit. Hitung-hitung, traveling minimalis.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusah...

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mat...

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya. "Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri. Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu. Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin. Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng. Jawaban orang tua ...