Langsung ke konten utama

Pengalaman Menumpang Bis Eldivo Jurusan Medan - Pem. Siantar

 


Berlibur ke luar kota memang menyenangkan. Tak perlu jauh, cukup sekitar 2 - 3 jam perjalanan saja sudah membawa suasana baru. Minimal, kita telah menemukan lingkungan berbeda dari tempat menetap. Pemandangan mata perlu diubah, jangan sama terus-menerus. 


Pem. Siantar, sebagai kota terpadat ketiga di Sumatera Utara setelah Medan dan Binjai, menjadi tujuan saya sambil menengok keluarga. Kota ini pun sudah familiar karena melewati masa seragam merah putih di sana. Bersama orang tua, dulu saya sering dibawa keliling naik motor. Jadi, saya mengenal hampir setiap sudut kota.


Selain relasi kenangan, Pem. Siantar tempat yang patut dikunjungi. Wisata kulinernya dijamin membuat lidah betah dan ingin mencoba semua hidangan yang tersedia. Beragam roti, mie, kue-kue, hingga oleh-oleh khas kacang tumbuk siap memanjakan wisatawan. Selain makanan, tempat wisatanya pun oke punya, seperti kebun binatang dan taman-taman rekreasi keluarga untuk 


Sudah lama saya tidak berkunjung ke sana. Biasanya, saya ke kota ini menumpang mobil keluarga. Dari dulu belum pernah naik kendaraan umum sendirian. Nah, sekarang karena sesuatu hal, saya harus bepergian sendirian dengan angkutan antar kota. Hitung-hitung cari pengalaman. Setelah tanya sana sini, saudara saya menyarankan menumpang bis Eldivo. 


Stasiun bis Eldivo Jl. Setia Budi, Medan


Di Medan, stasiun Eldivo berada pada dua lokasi, yaitu jalan Setia Budi dan Pancing. Karena lebih dekat ke rumah, saya memilih naik di jalan Setia Budi. Sebelum berangkat, sehari sebelumnya saya cek situasi bus melalui internet. Ternyata setiap hari bis penuh karena penumpang jalur Pem. Siantar enggak pernah sepi, tapi tempat duduk dijamin aman. Tidak ada penumpang berdiri karena pakai sistem nomor bangku melalui tiket. 


Yuk, Mulai Menyusuri Jalan Medan - Pem. Siantar

Awalnya, saya pikir Bis Eldivo seukuran Star Wagon atau agak besaran sedikit. Ternyata saya salah karena bis tinggi dan besar, jadi ingat angkutan antar propinsi. Di dalamnya memakai AC dan tempat duduknya nyaman. Ruang kaki juga cukup lapang, hingga saya bisa meletakkan tas di sana. 



Jarak antar bangku cukup lapang untuk penumpang


Harga tiketnya pun terjangkau. Dari Medan ke Pem. Siantar untuk umum cukup membayar Rp 45 ribu, sedangkan mahasiswa Rp 35 ribu. Khusus untuk mahasiswa harus menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Jadi, walaupun wajahnya imut, tetap tetap menunjukkan KTM. Enggak semua orang muda itu pasti mahasiswa, kan? Bisa saja pencari kerja baru. 


Pada tiket memang sudah tercantum nomor bangku. Cuma, ada sedikit drama saat naik bis kemarin. Karena pertama kali menumpang, saya mau mencoba ganti kursi dekat jendela. Saya mendapatkan kursi dekat gang dan kurang sreg dengan posisi tersebut. Siapa tahu bisa diganti? Ternyata tidak diperbolehkan sama kernetnya. 


Untunglah ada mama muda yang mau tukar kursi. Beliau justru ingin mendapatkan bangku dekat gang, supaya enggak repot menggendong anak balitanya kalau mau naik turun nanti. Jadilah saya mendapatkan bangku samping jendela, sementara dia pindah ke bangku saya yang dekat gang. Akhirnya, dapat bangku impian. 



Bangku penumpang yang bersih


Sebelum keluar dari kota Medan, bis singgah dulu di stasiun Amplas. Di sini banyak penumpang yang naik. Sebenarnya, sepanjang perjalanan dari Setia Budi ke Amplas pun ada penumpang yang naik, walaupun tanpa tiket. Nah, di stasiun Amplas, petugas akan memeriksa tiket dan nomor bangku. Jadi, jangan coba-coba cari kesempatan ya, pasti ketahuan. 


Singgah dulu sambil mengangkut penumpang di terminal antar kota Amplas, Medan


Perjalanannya pun nyaman karena supirnya membawa bis dalam keadaan stabil dan normal. Artinya enggak terlalu pelan, tapi juga enggak menyaingi pesawat jet. Saya sudah sempat keder naik bis umum mengingat berita angkutan antar kota yang sering ugal-ugalan. Belum lagi kemarin sempat melihat di Youtube, ada supir Eldivo yang kerasukan roh pembalap Formula 1. Untunglah kami mendapat supir yang sehat secara fisik dan mental. 



Mumpung Pak Sopir belum bertahta, kita foto-foto dulu dari atas bis


Perjalanannya lintas kota ini bagi saya seperti memutar mesin waktu. Saat masih tinggal di Pem. Siantar, saya sering diajak orang tua jalan-jalan ke luar kota. Memang enggak sampai Medan, hanya beberapa kilometer saja dari pinggiran kota. Tetapi, perjalanannya melintasi pohon rambung atau pohon karet yang menjadi momen spesial untuk saya. 


Bertiga dengan orang tua, kami hanya mengendarai vespa. Saat itu vespa masih menjadi kendaraan sejuta umat seperti sepeda motor sekarang. Kalau hujan, kami cuma berlindung di balik jas plastik. Seru kalau air dari langit mulai turun, terasa tepuk-tepukan airnya di kepala. Hari gini apa masih ada yang memakai vespa? Kendaraan ini sekarang justru jadi barang antik, sampai ada komunitasnya. Tahu begini, vespa kami dulu saya simpan baik-baik.  


Perkebunan rambung penuh kenangan


Kalau capek, kami berhenti dan duduk di bawah pohon rambung yang rindang. Saat orang tua beristirahat, saya justru sibuk mengumpulkan buah-buah rambung yang berserakan di tanah. Kulitnya keras dan bentuknya seperti buah pala. Jika digoncang-goncang, bijinya yang terletak di dalam kedengaran kletak-klutuk. Buah-buah rambung itu saya bawa pulang dan dijadikan mainan di rumah. Ya, namanya juga anak-anak.



Saat naik bis ini, saya pikir kami enggak bakalan ketemu pohon rambung lagi karena rutenya melewati jalan tol. Ternyata, di pinggiran jalan tol pun tetap ada perkebunan pohon rambung. Lagipula, bis keluar dari tol Tebing Tinggi, yang notabene daerah penghasil rambung, bukan dari tol Sinaksak yang jaraknya lebih dekat ke Pem. Siantar. 



Menyusuri jalan tol


Kenapa enggak lewat rute yang lebih ringkas? Ada banyak penumpang yang naik turun sepanjang jalan Tebing Tinggi - Pem. Siantar. Lumayan juga untuk pihak bis, kan. Memang perjalanan menjadi lebih lama, tapi akhirnya saya bisa melihat lebih banyak pohon rambung yang masih eksis sampai sekarang. 


Oya, kalau melewati Tebing Tinggi jangan lupa mencicipi lemang, makanan khas yang terbuat dari ketan. Dimasak dalam bambu yang dilapisi daun pisang, lemang banyak dijual di pinggiran jalan. Menyantapnya bisa dicampur dengan sarikaya. Dijamin nagih, apalagi jika dikonsumsi hangat. Karena naik, bis saya enggak bisa turun membelinya. Enggak mungkin, kan, minta supir berhenti gara-gara mau membeli lemang. Bagi yang mengendarai kendaraan pribadi, coba saja kudapan khas Tebing Tinggi. 




Disambut hujan di Pem. Siantar


Akhirnya, perjalanan selama sekitar 3 jam tiba di kota Pem. Siantar dengan selamat. Hujan menyambut kedatangan kami di sana. Setelah berkeliling dulu melalui terminal Perluasan, bis pun sampai pada stasiun terakhir di jl. Pattimura, Pem. Siantar. Hujan mulai reda dan saya pun menunggu jemputan di stasiun. Selesai sudah perjalanan dengan bis Eldivo hari ini. Beberapa hari lagi, dia akan mengantarkan saya kembali ke Medan. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Kolaborasi #SuamiIstriMasak dari Kacamata Seorang Pejuang Mandiri

    Berstatus sebagai pejuang mandiri, atau lajang, alias jomblo, di usia yang tak lagi muda agak menakutkan terutama bagi wanita. Berbagai tudingan ditujukan pada individu yang masih betah melajang. Ada yang mengatakan karena tidak pandai bergaul, kurang menarik, hingga omongan lain yang cukup menggigit. Hadeh!   “Sudahlah, asal ada yang mau langsung menikah aja. Nggak usah tanya ini itu segala macam. Mau tunggu apalagi? Daripada kelamaan sendirian.”   Omongan pedas seperti ini sudah sering hinggap di telinga saya. Biasanya, kalau ketemu yang beginian, saya cuma bisa menghela napas sambil berlalu.  Dalam hidup, ada hal yang tak perlu ditanggapi serius.   Walaupun banyak omongan pedas berseliweran, banyak kok para pejuang mandiri yang tetap kalem.  Biasanya, kicauan ramai justru datang dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Repotnya, kalau ada keluarga yang terprovokasi dan langsung kepanasan, hingga mendesak untuk segera menikah. Padahal, keputusan menikah sebaikn