Hanya saja, tampilan fisik yang tebal menjadikannya beban jika dibawa bepergian. Inilah alasan mengapa sebagian orang memilih ebook yang lebih praktis di era digital. Walaupun demikian, tetap ada penggemar setia buku fisik sampai sekarang, baik tua maupun muda.
Beda dengan ebook yang tinggal didownload melalui jejaring internet, buku fisik harus dibeli secara langsung ke tokonya atau melalui online. Sekarang transaksinya sudah lebih mudah karena telah tersedia olshop. Kalau dulu calon pembeli harus berjibaku menembus jarak dan lalu lintas untuk memperoleh buku yang dibutuhkan, sekarang dari rumah pun semua bisa dipesan.
Soal harga buku dulu, saat masih berstatus siswa harga bukunya lebih terjangkau. Berbeda lagi pas kuliah. Buku-buku mahasiswa umumnya dibandrol dengan angka lumayan menguras kantong, apalagi jika membelinya di toko buku ternama. Hitung saja kalau mengambil beberapa mata kuliah, dijamin kantong cepat jebol.
Karena saat itu masih dibiayai orang tua, sebagai anak saya harus tahu diri. Biaya kuliah per semester, fotocopy, uang saku, ongkos, dan kebutuhan sehari-hari yang tidak sedikit masih dibantu, masa mau membeli buku yang mahal? Walaupun demi pendidikan, tetap sebaiknya dipertimbangkan lagi. Kalau ada cara lain, kenapa tidak dicoba?
Jadi, demi penghematan saya putar otak gimana caranya mendapatkan buku murah, tapi kualitas enggak jauh beda dengan buku biasa. Setelah tanya sana sini, ternyata bisa, lho. Ada penjualan buku murah pada kios-kios tertentu. Boleh juga, nih. Istilahnya, cara bertahan hidup ala mahasiswa masa lalu. Dengan buku harga terjangkau, kuliah tetap selesai.
Dulu kios buku sering menjadi andalan mahasiswa. Di kota saya, lokasinya agak tersudut di tengah kota, terhimpit di antara bangunan besar. Tampilannya pun sederhana, tapi buku-bukunya tersusun rapi.
Jenis buku yang dijual ada dua, yaitu buku bekas dan buku baru non original alias bajakan. Kualitas yang bajakan ini biasanya enggak semulus produk di toko buku ternama. Terkadang sampul dan halamannya agak buram. Iyalah, harganya juga sudah miring habis.
Buku bekasnya masih terhitung bagus dan layak baca. Biasanya pedagang memperolehnya langsung dari orang yang datang menjual buku. Atau mereka bisa mengambil melalui pengecer barang bekas (goni botot). Harga buku bekas dan bajakan tersebut benar-benar murah meriah, bahkan masih bisa ditawar lagi.
Namun, kalau berniat menjual buku bekas ke sana, jangan terlalu berharap diterima. Mereka juga pilah-pilih buku yang mau dijual, tak semua layak jual. Dulu bersama orang tua, saya pernah mencoba menjual buku bekas ke sana. Mereka menolak, terutama buku sekolah karena kurikulum selalu berganti. Pedagang hanya menerima buku tertentu, bukan musiman seperti buku sekolah.
Asyik, kok, mencari buku ke kios. Cuma, kalau berbelanja ke mari tetaplah taat aturan. Dulu pernah ada teman saya, perempuan lho, bercerita kalau dia konflik dengan penjual buku. Menurut cerita si teman, masalahnya simpel, hanya karena dia membatalkan pembelian buku. Bapak penjual buku marah dan melontarkan kata-kata kurang pantas.
Yap, kita memang tidak tahu kejadian sebenarnya. Boleh jadi teman saya pun bersikap kurang etis hingga menyinggung perasaan orang lain.
Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke kios buku tersebut. Sudah lama sekali tidak ke sana, apalagi sejak musim ebook seperti sekarang. Buku-buku yang terpajang di kios masih bagus, seperti zaman kuliah dulu. Namun, pedagangnya semakin berkurang. Sudah banyak kios yang tutup, pembelinya pun jarang. Era digital dan toko online telah membawa perubahan, terutama sejak pandemi.
Pamor buku konvensional memang semakin memudar. Bukan hanya kios buku sederhana, toko buku ternama pun banyak yang sudah tutup. Padahal, dulu kios buku begini yang menyelamatkan anggaran pembelian buku. Meskipun kios buku bukan satu-satunya sumber memperoleh buku.
Saat kuliah, ada 3 sumber buku saya. Pertama, perpustakaan, kedua kios buku, dan yang terakhir baru toko buku ternama. Opsi yang terakhir ini jarang, paling hanya satu atau dua buku. Itupun karena bukunya tidak tersedia di perpustakaan atau kios, biasanya buku baru yang masih hangat dari penerbit. Jadi, pencarian bukunya seperti subsidi silang. Kalau enggak ada di satu sumber, baru dicari ke tempat lain.
Walaupun sekarang era digital, peminat buku konvensional tetap ada. Selain tidak membuat mata perih, membolak-balikkan buku jenis ini membawa keasyikan tersendiri. Membacanya pun enggak perlu kuota serta tidak khawatir saat gadget sedang lowbat. Hanya saja, perlu ruang penyimpanan agar buku-buku itu tidak berserakan.
Zaman memang sudah berubah. Dulu kios ramai dan banyak pilihan penjual buku Sekarang penjual yang tersisa bisa dihitung jari. Namun, selagi masih ada peminat buku yang datang, kios-kios tersebut akan tetap bertahan.
- Canva
- Lokasi Titi Gantung, Medan
Komentar
Posting Komentar