Beberapa kali perjalanan menggunakan transportasi umum ke luar kota, saya hampir tidak pernah bertemu dengan penumpang yang gemar mengobrol. Biasanya, ada dua jenis penumpang yang saya jumpai.
Pertama, orang muda yang pendiam dan sibuk dengan hpnya. Kedua, orang tua yang pendiam, tapi langsung mengomel jika menemukan fasilitas angkutan yang tidak sesuai dengan harapannya.
Bertemu sesama penumpang yang pendiam sudah biasa. Mayoritas orang zaman now memang membatasi mengobrol dengan orang belum dikenal, terutama mengingat berita-berita kriminal yang kerap berseliweran.
Orang terdekat saja bisa berbuat kurang pantas, apalagi yang tidak dikenal. Waspada adalah solusi terbaik, daripada nanti menyesal. Jadi, jangan heran kalau banyak di antara kita ragu memulai percakapan dengan orang baru, terutama di angkutan umum.
Kemudian, di samping saya ada wanita berumur 30-an yang molor melulu. Mungkin dia kecapekan, makanya terlelap hampir sepanjang perjalanan. Wanita ini pun seperti masuk angin karena dia tidur sambil mengenakan jaket hoodie.
Dari empat kursi yang tersedia, hanya tiga yang terisi. Sejak awal perjalanan hingga tiba di stasiun akhir, kami tidak mengobrol, hanya sekadar bertegur saat mengajak makan. Ya, budaya kita, kan, enggak sopan melahap makanan begitu saja di depan orang lain tanpa mengajaknya.
Kemudian di tengah perjalanan, naiklah seorang ibu dengan empat orang anaknya. Nah, ini baru membuat suasana mulai ramai. Ibu ini hanya mendapatkan tiket berdiri, maka dia pun duduk di gang sambil menggendong bayinya. Ketiga anak yang lain berdesak-desakan di kursi kami. Dua anak duduk pada satu kursi kosong, satu lagi anteng di antara saya dan penumpang berjaket hoodie tadi.
Untunglah kami bertiga wanita, jadi naluri pada anak-anak lebih peka. Serewel apapun mereka, kami tetap sabar. Namanya juga anak-anak. Tetapi, cuma sebentar keluarga kecil ini duduk di kursi kami, petugas kemudian mempersilahkan mereka pindah pada tiga kursi kosong di tempat lain.
Ketiga penumpang yang tinggal pun kembali senyap. Ada tetap sibuk melihat hp-nya, ada pula yang kembali molor dengan tenang. Sementara, penumpang satu lagi sibuk memotrat-motret untuk keperluan menulis blog. Hahaha, pantang melihat kesempatan.
Gunakanlah kesempatan selagi bisa dimanfaatkan. Lumayan, kan, untuk mengisi artikel blog. Jadi, sampai di Medan pun kami semua tetap diam tanpa ada obrolan. Perjalanan yang biasa, kan? Dari dulu perjalanan jauh sering begitu.
Tetapi, saat perjalanan kembali Medan - Pem. Siantar, saya bertemu penumpang yang berbeda dengan karakter umum orang sekarang. Saat tiba pada kursi gerbong, di depan tempat duduk saya sudah duluan ada sepasang kakek nenek. Awalnya, saya pikir mereka suami istri, ternyata abang beradik.
Nanti, setelah kami mengobrol panjang lebar, adiknya yang perempuan mengatakan kalau dia kelahiran tahun 1954. Wow! Abangnya? Waduh, saya enggak berani tanya. Kesannya kurang sopan, kan? Kalau dihitung-hitung, mungkin umur kakek itu berbeda tipis dengan usia negeri ini.
Pertama kali saya duduk, mereka sudah menunjukkan kesan berbeda. Bayangkan, saya dipersilakan duduk dan langsung diajak ngobrol. Mereka bertanya saya boru apa (marga untuk wanita Batak) dan ditanya, kok enggak bawa banyak barang?
Hadeh, namanya juga perjalanan pulang pergi, perlu barang apa kecuali tas dan kotak cemilan? Wah, barang bawaan pun diperhatikan. Pokoknya, ketika saya baru duduk langsung diajak berbincang akrab.
Bukan cuma diajak ngobrol, menu makan siang saya pun mereka komentari. Mereka bingung karena saya makan tanpa menu sambal (orang Sumatera jarang yang menolak makanan pedas). Hah? Saya yang diperhatikan sampai sedetail itupun jadi risih.
Lama menetap di kota metropolitan, Medan yang agak individualis, rasanya aneh bertemu orang yang memperhatikan sedemikian rupa. Bagi orang lain, karakter mereka yang berkesan kepo mungkin membuat kecurigaan, tapi saya saya mencoba melihat dari sisi lain. Ucapan mereka cenderung akrab, bukan menggurui seperti umumnya orang tua kepada yang lebih muda.
Mengobrol dengan mereka, seperti berkelana dengan mesin waktu ke masa lampau, sebelum ada hp. Saat masih kanak-kanak, saya sering menemani Ibu yang kontrol kesehatan ke dokter. Di ruang tunggu, orang yang tidak saling mengenal, termasuk Ibu saya, biasanya mengobrol panjang lebar tentang beragam topik. Apa saja.
Setidaknya, obrolan itu bisa melewatkan waktu suntuk karena kelamaan menunggu. Topiknya pun sering cocok hingga obrolannya pun keterusan, sampai giliran masuk ke ruang dokter.
Situasinya berbeda dengan sekarang. Saat ini, nongkrong bersama keluarga atau teman, tetap ada yang sibuk dengan hp masing-masing. Kalau pun mengobrol panjang lebar, sering diselang-selingi dengan mengintip hp. Sementara kakek nenek yang ada di depan saya ini beda. Mereka tidak sekalipun mengeluarkan hp sepanjang perjalanan.
Mereka lebih suka mengobrol, kalau enggak antar mereka, ya, berbicara dengan penumpang lain. Mungkin keduanya enggak punya hp? Boleh jadi, tapi sekarang kayaknya jarang ada orang yang enggak punya hp, termasuk orang tua. Apalagi, kakek itu sempat cerita kalau mereka membeli tiket kereta api sendiri secara online. Hmm...
Saat mereka makan siang tadi, saya pun sempat memperhatikan menunya. Kalau kakek menyantap dua potong rendang, maka nenek mengkonsumsi mie ayam. Mereka menyantapnya sampai habis. Selesai menu utama, mereka melahap biskuit kemasan yang banyak dijual di minimarket. Diam-diam saya tersenyum sendiri melihat menu mereka, antara kagum dan takjub.
Orang-orang di sekitar saya umumnya menghindari menu demikian, meskipun usia mereka masih jauh lebih muda dari kakek nenek ini. Alasannya beragam, mulai dari kolesterol, asam urat, gula darah, dan sebagainya. Sebaliknya, kakek nenek ini anteng saja menyantap makanan demikian. Jika ada yang bilang, cepat atau lambat kakek nenek ini pun bisa sakit kalau makan yang begituan.
Kalau soal sakit, semua orang pun bisa sakit. Cuma, di usia demikian saya lihat mereka belum berpantang makan, menu apapun disantap. Walaupun begitu, saya perhatikan mereka tidak banyak melahap biskuit, hanya beberapa keping. Berarti bolehlah makan beragam penganan, asalkan jangan kebablasan dan berlebihan.
Kalau diperhatikan, mereka memang masih sehat di usia senja. Saat mengobrol, perkataannya masih fokus, enggak bingung dan mengulang-ulang kalimat yang sama, seperti umumnya orang lanjut usia. Ucapan pun terlontar jelas dengan kalimat-kalimat teratur. Ingatan mereka masih tajam dan mampu menceritakan kilas balik peristiwa berpuluh-puluh tahun yang lampau.
Dari mereka saya mendapatkan pelajaran sejarah gratis, yang belum tentu diperoleh dari buku-buku. Salah satunya tentang keadaan daerah ini sekitar tahun 1950 - 1960, yang sedemikian kacau dengan beragam pemberontakan. Saat itu, sesama anak bangsa saling baku tembak demi mempertahankan ideologi masing-masing. Rakyat yang menjadi susah, terutama karena hampir semua angkutan umum mogok.
Kemana pun pergi, rakyat terpaksa berjalan kaki. Itu baru masalah angkutan, bagaimana pula dengan distribusi kebutuhan sehari-hari, termasuk makanan? Kisah yang mereka ceritakan bukan hanya tentang peristiwa tahun 1965, tapi sebelumnya ada juga pemberontak yang tak kalah menggegerkan. Pemberontakan ini jarang dituturkan lagi oleh orang sekarang dan seperti sudah dilupakan. Padahal, sebaiknya kita belajar dari sejarah, supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Obrolan terus menyambung karena kami memiliki asal usul yang hampir sama. Kami sama-sama lahir di Pem. Siantar, merantau ke Medan, dan sekarang dalam perjalanan kembali ke Pem. Siantar. Banyak sejarah kota Pem. Siantar yang kami bahas, termasuk bangunan lama, perkembangan kota, hingga kisah gelap dari tokoh terkemuka yang sempat menggegerkan masyarakat.
Topik terakhir ini bukan mau bergunjing, lho, tapi pelajaran agar generasi sekarang jangan mengulangi kesalahan yang sama. Ah, alasan. Wkwkwk.
Kakek nenek juga berkisah tentang kondisi kereta api zaman baheula. Orang tua mereka dulu tinggal di Pem. Siantar, tapi keduanya sudah bersekolah sejak SMA di Medan. Hampir setiap akhir pekan, mereka bolak-balik ke Pem. Siantar dengan kereta api. Alat transportasi ini dulu masih berupa lokomotif yang menggunakan bahan bakar kayu.
Kalau hujan turun, bakalan muncul masalah dengan kereta api. Kayu-kayu itu menjadi basah dan membuat perjalanan terganggu. Entah bagaimana caranya, kayu-kayu itu dikeringkan hingga kereta api bisa berjalan kembali. Selesai sampai di situ? Enggak juga! Serpihan pembakaran kayu beterbangan sampai ke gerbong penumpang dan mengenai kulit. Waduh.
Tampilan gerbong juga berbeda. Jendela gerbong dibiarkan terbuka dengan tirai yang hanya diturunkan kalau hujan. Bisa dibayangkan naik kereta api dengan jendela terbuka? Mungkin kayak naik odong-odong. Saya pun sempat bercerita tentang kondisi gerbong sekitar tahun 1980-an yang kulit kursinya robek dan besi berkarat. Mereka membenarkan kondisi tersebut. Berarti ingatan saya enggak salah, kan?
"Situasi sekarang sudah benar-benar enak." Nenek menjelaskan. "Beda dengan zaman kami dulu saat muda."
Usia mereka boleh lanjut, tapi fisiknya memang masih tangguh dan ingatan pun tajam. Diajak ngobrol apapun bisa menyambung. Mereka juga cepat akrab dengan penumpang lain. Beberapa penumpang yang turun duluan sebelum Pem. Siantar, menyapa kakek dan nenek saat mau keluar dari gerbong. Entah mereka sudah kenal sebelumnya atau memang baru bertemu di atas kereta, saya tidak tahu. Tetapi yang pasti, keduanya mudah berkomunikasi dengan orang-orang baru.
Di tengah lingkungan yang semakin individualis, apalagi setelah era gadget, masih ada orang yang mau akrab dengan lingkungan baru. Mereka berasal dari generasi tua yang jumlahnya akan semakin berkurang. Namun, tindakan sederhana kakek nenek yang saya ceritakan di atas, mudah-mudahan bisa ditiru dan diwariskan pada generasi yang lebih muda.
Memang tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, membuat kita waspada pada individu yang tidak dikenal. Tetapi, asalkan tahu batasan, tidak ada salahnya mengobrol akrab dengan orang-orang yang baru bertemu .
Komentar
Posting Komentar