Langsung ke konten utama

Keriuhan Menonton Balap Sepeda PON XXI


Setenang apapun karakter seseorang, perlu sesekali bergabung dengan keramaian. Memang ada yang betah sendirian terus? Melihat keriuhan ampuh untuk mengatasi kejenuhan, walaupun tetap pergi sebagai pejuang tunggal. Yang penting jangan hanya mojok seorangan. Coba saja, berkumpul dalam kemeriahan ternyata menyenangkan.


Salah satu momen keramaian adalah PON XXI yang sedang berlangsung di Sumut dan Aceh. Entah penggemar olahraga atau tidak, acara ini menjadi kesempatan berkumpul sambil bersorak-sorai melihat atlet. Pasti seru menontonnya berbarengan dengan warga setempat. Berkumpul bukan harus dalam suasana pesta, kan. Nobar (nonton bareng) dengan masyarakat tetap meriah, kok.



Masyarakat antusias saat menunggu kompetisi PON XXI dimulai


Untuk warga Medan dan Banda Aceh, banyak pilihan cabor (cabang olahraga) yang diselenggarakan pada berbagai gedung atau lapangan. Penonton tinggal pilih sesuai minat. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di daerah Pem. Siantar (sekitar 2,5 jam perjalanan dari Medan), cabor yang diperlombakan terbatas. Tetapi, kapan lagi bisa menonton langsung pesta olahraga tingkat nasional? 


Jadi, ketika ada kabar kalau cabor balap sepeda puteri lintasan 30 km akan start di Pem. Siantar, saya tidak melewatkan kesempatan ini. Pada 12 September kemarin, banyak orang berkumpul di Jl. Merdeka atau pusat kota. Start kompetisi ini tepat dari depan Kantor Balai Kota dan finish di Parapat, lokasi wisata tepian danau Toba. Asyik jadi atlet ya, bisa berlomba sekaligus wisata. 


Persiapan salah seorang atlet

Mobil-mobil yang mengantar para atlet telah tiba di lokasi pertandingan


Pada hari H, banyak warga telah berkumpul di depan gedung Balai Kota. Penduduk antusias menyambut event ini, meskipun matahari ikut semangat bersinar. Raja siang ini pun seperti turut mengamati dari langit. Teriknya luar biasa. Tetapi, begitu lebih baik, kan, dari pada hujan yang membuat penonton pasti bubar.


Karena event nasional, suasana kota langsung berubah gegap gempita. Anak-anak sekolah dipulangkan lebih awal, jalan protokol ditutup. Penduduk berkerumun pada satu lokasi. Nobar memang lebih seru daripada menyimak sendirian di depan televisi atau gadget. Teriakan, yel-yel, sorakan pengunjung, menjadi penyemangat walaupun tidak mengenal atlet yang tampil


Apa yang menarik dengan tontonan olahraga demikian? Menyimak acara pertandingan di, media cetak, televisi  atau gadget dari saluran berita resmi sudah biasa. Pemirsa tentu diberikan gambar atau video kualitas maksimal, apalagi yang menangani jurnalis atau kameramen profesional. Mereka telah terlatih meliput berita di garis depan. Hasil pemantauan di lapangan biasanya dapat dipertanggung-jawabkan



Berbeda kalau melihat langsung sambil berdesak-desakan. Penonton yang kebanyakan jelata dalam dunia jurnalis, harus cepat datang agar bisa memperoleh posisi strategis. Enggak pernah ada keistimewaan untuk warga biasa. Kalau pun terlambat, setidaknya mampu menerobos kerumunan massa. Jika tidak, yang bakalan dilihat cuma punggung penonton lain.

Ini hasilnya memotret dengan tinggi badan standar


Karena tinggi saya standar, maka perlu perjuangan agar bisa melihat atlet secara langsung. Namun, akibat datang terlambat, saya cuma mampu mengintip dari sela-sela pengunjung. Tentu saya enggak menyerah, meskipun hanya berdiri di barisan belakang. Agar mendapatkan hasil foto jelas, maka kaki dan tangan difungsikan maksimal. Kaki dijinjitkan, sementara tangan yang memegang gadget diangkat setinggi mungkin. 


Setelah dicoba, ternyata hasilnya cukup memuaskan. Foto persiapan pertandingan bisa tertangkap kamera dengan jelas. Cuma, saya saya harus kuat mental karena dipandangi lama sama sekumpulan Ibu-ibu yang berada di barisan depan. Rupanya suara jegrak-jegrek kamera hape menarik perhatian mereka. Untung cuma dipelototi, enggak sampai diomeli. Sabar dengan aksi saya, ya, Bu. Cuma sekali seumur hidup, kok.


Ketika memotret dengan kaki jinjit dan tangan teracung tinggi. Hasilnya lumayan.


Gimana rasanya langsung menonton pertandingan di lapangan? Coba kita bandingkan dengan menonton film di bioskop. Sekarang zamannya Youtube. Melalui aplikasi ini, pemirsa bebas menonton film sesuai kemampuan kuota masing-masing, tanpa kendala waktu dan tempat. Tetapi, kenapa bioskop masih ramai pengunjung, terutama jika diputar film box office? Apa enggak puas hanya menyimak dari rumah?


Alasannya sederhana. Pertama, layar bioskop yang lebar memanjakan mata penikmat film. Beda dengan tampilan layar televisi, apalagi gawai yang sempit dan terbatas. Penampakan layar cinema seperti tabung kaca tingkat sultan, membuat pengunjung rela membeli tiket kembali. Puas, apalagi dilengkapi dengan sound system yang menggelegar.


Begitu pula dengan melihat pertandingan secara langsung. Rasanya puas karena layar dunia nyata sangat luas. Hanya langit biru yang menjadi pembatas. Pandangan bebas lepas menatap beragam aktivitas. Persiapan-persiapan para atlet yang selama ini lolos dari pantauan kamera jurnalis, terlihat jelas di lapangan.


Kedua, karena biasanya bioskop terletak di pusat perbelanjaan. Jadi, setelah selesai menonton bisa cuci mata dulu atau mencari pengganjal perut. Kesempatan, oh, kesempatan. Bosan dengan menu di rumah, mal menawarkan beragam kuliner yang enak di lambung serta bisa dipilih sesuai anggaran kantong.


Situasinya sama dengan event PON XXI ini. Jika warga berkumpul pada satu titik, maka kegiatan ini bisa menambah kocek para pedagang keliling. Situasi ini menjadi peluang emas bagi mereka untuk menambah pundi-pundi. Mau cari camilan yang mana? Semua ada di sini, asalkan dana mendukung. Lagipula memang pas menonton keramaian sambil mengunyah makanan ringan. Pedagang untung, pengunjung pun senang.


Mau camilan apa?


Alasan ketiga. Momen keseruan menonton film berbarengan orang lain, sulit digantikan dengan gadget secanggih apapun. Pekikan penonton ketika jagoan film beraksi, menciptakan adrenalin istimewa bagi pengunjung bioskop. Rasanya kurang greget kalau hanya berteriak sendirian di rumah.


Begitu juga dengan menonton olahraga bersama. Melihat latihan atlet sebelum bertanding, berkerumun di lapangan terbuka, hingga berhitung mundur bersama menjelang start, menjadi keseruan yang mustahil terjadi jika hanya menyimak sendirian di televisi. Panas terik pun lewat dan penonton tetap betah berdiri di bawah sengatan mentari.


Lagipula, PON XXI merupakan event 4 tahunan. Entah kapan lagi ada momen tingkat nasional. Jadi, animo masyarakat tetap tinggi untuk menyaksikannya secara langsung. Penonton berebut mendekati titik start. Banyak gadget berbaris teracung di atas kepala, siap merekam aksi para pebalap puteri yang akan bertanding. Pihak keamanan pun sigap menjaga situasi agar tetap kondusif. 


Warga menghitung mundur bersama menjelang start balapan


Tamu dari seluruh penjuru tanah air


Semua atlet pun telah siap sedia di atas sepeda masing-masing. Keriuhan penonton semakin semarak ketika panitia menyebutkan atlet asal Sumut suara dengan lantang. Walaupun namanya kurang familiar, tapi karena saudara sekampung tetap saja disambut hangat. Kelak, dari hasil pertandingan yang saya baca secara online, atlet tuan rumah berhasil menyabet medali perunggu. Selamat. Danau Toba pasti tersenyum. 


Bagi orang lain, menonton pertandingan langsung adalah peristiwa biasa. Tetapi, untuk saya yang belum pernah menonton olahraga tingkat nasional, peristiwa ini menjadi pengalaman menarik. Dulu sering menonton pertandingan olahraga di sekolah. Setelah kelar dari bangku pendidikan, kompetisi adu otot jarang diikuti. Kalau pun ingin menonton, biasanya dari televisi. Lagipula, saya berdomisili di daerah dan jarang ada kejuaraan tingkat nasional.

Pulang, yok, pulang, acaranya sudah selesai


Asalkan kondisi aman, sebenarnya menarik menonton pertandingan  olahraga secara langsung. Sorak-sorai, gegap-gempita penonton, antusias menunggu aksi para atlet, menjadi cerita seru yang jarang terjadi. Mudah-mudahan suatu hari nanti ada rezeki berlimpah. Dengan demikian, saya bisa menonton Sea Games, Asian Games, Olimpiade, Piala Eropa, hingga Piala Dunia. Boleh, kan, punya impian? Hehehe. Amin.


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Kolaborasi #SuamiIstriMasak dari Kacamata Seorang Pejuang Mandiri

    Berstatus sebagai pejuang mandiri, atau lajang, alias jomblo, di usia yang tak lagi muda agak menakutkan terutama bagi wanita. Berbagai tudingan ditujukan pada individu yang masih betah melajang. Ada yang mengatakan karena tidak pandai bergaul, kurang menarik, hingga omongan lain yang cukup menggigit. Hadeh!   “Sudahlah, asal ada yang mau langsung menikah aja. Nggak usah tanya ini itu segala macam. Mau tunggu apalagi? Daripada kelamaan sendirian.”   Omongan pedas seperti ini sudah sering hinggap di telinga saya. Biasanya, kalau ketemu yang beginian, saya cuma bisa menghela napas sambil berlalu.  Dalam hidup, ada hal yang tak perlu ditanggapi serius.   Walaupun banyak omongan pedas berseliweran, banyak kok para pejuang mandiri yang tetap kalem.  Biasanya, kicauan ramai justru datang dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Repotnya, kalau ada keluarga yang terprovokasi dan langsung kepanasan, hingga mendesak untuk segera menikah. Padahal, keputusan menikah sebaikn