Langsung ke konten utama

Pengalaman Menulis Cerita Anak

 



Ada yang suka menulis cerita anak? Awalnya, saya berpikir menuturkan cerita anak itu mudah, hanya perlu menemukan tema riang yang sesuai dengan dunia mereka. Namun kenyataannya, berkarya dalam cerita anak tidak semudah mengetik di laptop. Sama seperti tulisan untuk orang dewasa, menulis kisah untuk para bocah membutuhkan proses dan pembelajaran.


Saat memulai beberapa tahun lalu, saya menuturkan alur kisah secara natural, tanpa memahami ilmu dan kaidah penulisan. Hasilnya muncullah cerita dengan tema pasaran dan ending yang mudah ditebak. Sampai sekarang, saya masih menyimpan file cerita anak pertama tersebut. Membacanya kembali membuat saya tertawa. Tak heran, kalau dulu banyak karya saya ditolak oleh berbagai media cetak.


Sisi Menarik Cerita Anak

Cerita anak memiliki daya tarik yang berbeda dibandingkan cerpen dewasa. Cerpen untuk Papa, Mama, Om, dan Tante sering  berkisah tentang kegalauan. Sedangkan, cerita anak lebih banyak menyoroti kepolosan dan keceriaan dunia bocil (bocah cilik). Namun,  bukan berarti cerita anak bebas dari masalah. Genre ini tetap mengangkat berbagai tantangan yang dihadapi para bocah, hanya saja solusinya dilihat dari sudut pandang mereka.



Sampai sekarang, saya masih terus belajar bagaimana menuturkan cerita anak dengan benar dan menarik. Namanya belajar perlu proses dan kesabaran agar bisa meraih progres. Supaya hasilnya maksimal, sebaiknya bergabunglah dengan komunitas untuk menambah pengetahuan. Seperti saat ini, saya mengikuti pelatihan dari penerbit mayor, dengan target pembaca berusia 8 – 10 tahun.


Pada pelatihan ini, selain berpraktik menulis para peserta boleh mengirimkan karyanya ke penerbit. Jika memenuhi persyaratan, maka karya tersebut bisa diterbitkan bersama penulis lain dalam bentuk antologi. Boleh juga, kan, untuk mengoleksi pengalaman.


Dari pelatihan tersebut, ada beberapa poin penting tentang menulis cerita anak.



1. Gunakan kalimat yang singkat, yang terdiri dari maksimal 10 kata.

2. Batasi hanya 3 - 4 kalimat per alinea.

3. Pilih diksi sederhana dan sering digunakan anak-anak.

4. Temukan ide cerita menarik dan unik.

5. Bangun karakter tokoh yang kuat.

6. Ciptakan konflik yang mampu diatasi anak.

7. Libatkan orang dewasa untuk membantu, tetapi biarkan anak menjadi pahlawan.

8. Batasi jumlah tokoh maksimal tiga orang.


Kelihatannya mudah mengikuti langkah-langkah membuat cerita anak, tapi saat dipraktikkan lumayan mumet. Minta tolong AI? Sudah, tapi AI malah membuat cerita anak persis seperti yang pernah saya baca pas masih SD. Ya, harus cari ide segar lagi. Untunglah akhirnya tugasnya selesai dan segera dikirim ke penerbit. Naskah saya lulus kurasi dan bisa masuk dalam buku antologi. Huff, akhirnya.


Penghasilan Penulis Cerita Anak di Indonesia

Berapa penghasilan penulis cerita anak di negeri ini? 


Dari pengalaman saat karya pertama dimuat di majalah, honornya mampu menutupi biaya hidup seminggu. Sedikit ya. Kemudian setelah lama berlatih menulis, saya memberanikan diri mengikuti lomba menulis dongeng. Hasilnya saya memenangkan lomba, walau hanya peringkat harapan. Hadiahnya tiga kali lipat dari honor majalah. Ya, cukuplah untuk menambah biaya hidup sebulan. Wkwkwk.



Apa bisa bertahan hidup dari profesi ini, dengan pendapatan segitu? Kalau saya ditanya, jelas bingung menjawabnya karena masih pemula. Tetapi, jika memang punya niat serius di bidang ini, kita bisa melihat dari pengalaman beberapa penulis anak profesional.


Berapa penghasilan yang diterima penulis cerita anak profesional?


Sejak dulu, saya hobi membaca fiksi anak. Beberapa nama penulisnya sudah tidak asing lagi. Saat pandemi merebak, saya pun sering ikut webinar dan pelatihan genre ini. Di kegiatan online yang diikuti, beberapa penulis terkemuka diundang menjadi narasumber. Mereka memang tidak pernah mengungkapkan secara jelas tentang penghasilannya di webinar. Tetapi, lain lagi ceritanya di medsos.




Saya pun mencari medsos mereka. Nggak susah karena ternyata Bapak dan Ibu profesional ikut menulis blog. Di platform ini, secara terbuka mereka membongkar sekelumit tentang materi. Saya jadi bisa mengetahui sedikit seluk-beluk penghasilan dari bertutur cerita anak.


Berdasarkan informasi yang saya temukan, penghasilan penulis cerita anak bisa bervariasi. Seorang Ibu Penulis mengungkapkan penghasilannya dari royalti menulis buku sekitar Rp 20 juta per semester (setiap 6 bulan), cukup untuk menghidupi keluarga selain dari gaji suami. Ini pendapatan beberapa tahun lalu. Kalau sekarang, lain lagi. Dari penghasilan menulis beliau mungkin bisa mendirikan TK untuk anak se-kelurahan.


Sementara, seorang Bapak Penulis lainnya menyebutkan nominal  honor dari berkisah cerita anak. Pendapatan tersebut cukup untuk kebutuhan keluarga. Hanya dari menulis naskah buku, beliau bisa menghasilkan antara Rp 3,5 juta hingga Rp 12 juta. Ini baru dari tanah air. Bapak Penulis pernah bekerja sama dengan salah satu penerbit negeri tetangga. Hasilnya dua sepeda motor parkir di rumah.




Selain berkarya, penulis sering diundang sebagai narasumber pada seminar atau lokakarya. Mereka juga menjadi pembicara dalam pelatihan online, bahkan sampai pandemi mereda. Tahu sendiri, kan, sekarang hampir tidak ada langkah kaki gratis. Sering ada salam tempel. Minimal bapak dan ibu bisa pulang membawa oleh-oleh.


Namun, ada namunnya pula. Hasil pekerjaan mereka tidak dinikmati dalam semalam atau setahun. Jerih payah baru kelihatan setelah melalui proses panjang dan penuh tantangan selama bertahun-tahun. Upaya ini tentu nggak mudah. Dulu mereka mempunyai banyak rekan sesama penulis, tapi satu per satu tiarap sambil memasang bendera putih. Siapa yang bertahan, dia yang berhasil. Penulis cerita anak pun perlu konsistensi dan ketekunan.


Jadi, apakah masih mau menulis cerita anak? Semua kembali pada pribadi masing-masing. Sama seperti profesi lain, menulis cerita anak membutuhkan tekad dan alasan kuat untuk bertahan. Pada akhirnya, hanya waktu yang bisa menunjukkan siapa yang memiliki passion sejati dalam genre ini.


Referensi Foto : Canva


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Kolaborasi #SuamiIstriMasak dari Kacamata Seorang Pejuang Mandiri

    Berstatus sebagai pejuang mandiri, atau lajang, alias jomblo, di usia yang tak lagi muda agak menakutkan terutama bagi wanita. Berbagai tudingan ditujukan pada individu yang masih betah melajang. Ada yang mengatakan karena tidak pandai bergaul, kurang menarik, hingga omongan lain yang cukup menggigit. Hadeh!   “Sudahlah, asal ada yang mau langsung menikah aja. Nggak usah tanya ini itu segala macam. Mau tunggu apalagi? Daripada kelamaan sendirian.”   Omongan pedas seperti ini sudah sering hinggap di telinga saya. Biasanya, kalau ketemu yang beginian, saya cuma bisa menghela napas sambil berlalu.  Dalam hidup, ada hal yang tak perlu ditanggapi serius.   Walaupun banyak omongan pedas berseliweran, banyak kok para pejuang mandiri yang tetap kalem.  Biasanya, kicauan ramai justru datang dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Repotnya, kalau ada keluarga yang terprovokasi dan langsung kepanasan, hingga mendesak untuk segera menikah. Padahal, keputusan menikah sebaikn