Langsung ke konten utama

Tetangga dan Ternak Hewan di Halaman Rumah

 



Ada yang pernah memelihara ayam di belakang rumah? Walaupun saat itu tinggal di kompleks perumahan kota besar, saya pernah memelihara ayam di belakang rumah. Memang bukan peternakan karena koleksi ayamnya cuma 4 – 5 ekor. 


Meskipun demikian, hobi saya memelihara ayam sempat membuat tetangga mengernyitkan dahi. Kok masih mau memelihara ayam, di kompleks pula? Mereka khawatir aroma kotorannya bakalan merebak hingga ke rumah masing-masing. Enggak, kok, ada cara agar kotorannya tidak beraroma menyesakkan. 


Caranya, kami menyediakan makanan alami, seperti sisa-sisa makanan rumah, jagung, serta dedak. Sama sekali tidak ada pemakaian bahan-bahan kimia. Akhirnya pun terbukti, memang nggak ada lagi tetangga yang komplain. Ayam-ayam saya aman tanpa demo selama bertahun-tahun.


Tetapi, itu peristiwa dulu. Sekarang sudah berbeda. Saat ini saya tinggal di pinggiran kota nan sejuk karena dikelilingi pepohonan hijau, serta ladang penduduk. Udaranya masih segar banget, apalagi pagi hari. Meskipun tinggal di pinggiran kota, saya sudah tidak memelihara hewan lagi. Justru tetangga yang memelihara hewan peternakan di halaman rumahnya.




Jarak peternakan mereka dengan rumah kami lumayan, sekitar 30 meter. Hewannya juga dikandangkan dan tidak berkeliaran di jalanan. Cuma karena jumlahnya sampai bergerombolan, aroma kotoran agak menyeruak di udara. Pagi hari saat mau menghirup udara segar, eh, kok ada bebauan yang ikutan nyangkut. Iya kalau wangi.


Saya tinggal bersama saudara dan bertanya padanya. Apa nggak pernah warga sini komplain? Saudara saya bilang, karena di sini belum ramai penduduk, hampir nggak ada yang komplain.  Lagipula, warga nggak punya alasan kuat untuk menegur. Mereka beternak memakai tanah sendiri. Hewannya pun dikurung dan tidak berkeliaran di rumah-rumah penduduk. Hanya aromanya saja berkelana di udara.


Akhirnya, saya pun ikut diam. Namanya juga mata pencaharian, saya maklum. Uang memang bukan segalanya, tapi semua orang butuh uang. Nggak semua bisa dibeli pakai uang, tapi nggak ada uang pusing kepala. Setiap orang punya mata pencarian berbeda. Jadi, harap dimengerti kalau ada kurang lebih dalam bertetangga. 


Namun, saya salah menduga. Tetangga peternak bukan orang dari kalangan kasta tiarap. Mereka yang saya kira bertahan hidup melalui hewan-hewannya, ternyata tidak sesusah yang terlintas di benak. Nggak  semua peternak itu kumal dan miskin. Boleh jadi mereka kalangan berpunya yang sesungguhnya.




Tetangga peternak ternyata Tuan Takur atau tanahnya tak terukur,  alias pemilik tanah lengkap dengan tanaman perkebunan. Harga aset-asetnya saja sampai M. Istilahnya, dia mampu hidup layak kalau hanya goyang kaki saja di rumah, tanpa perlu beternak. Saat tidur pun uangnya tetap beranak pinak. Jadi, kok masih mau repot-repot mengurus hewan? 


Suatu saat, saya berkesempatan mengobrol dengan pemiliknya. Karena saya warga baru di sana, selama ini kami hanya saling sapa ketika bertemu. Kami belum pernah terlibat percakapan lama. Karena itu saya kurang mengenal dan hanya menebak-nebak karakternya. Ternyata berasumsi itu memang bisa menimbulkan salah paham.


Beliau seorang wanita berusia sekitar 50-an. Orangnya ramah dan low profile. Tiada emas atau perhiasan yang tersemat pada penampilannya. Sosoknya seperti Ibu-ibu yang sering kita temui di pasar. Mungkin karakter beliau cocok untuk istilah ‘Horang kayah yang sesungguhnya tidak pernah mengaku kayah.’ Kita yang perlu peka melihatnya. 


Saya pura- pura nggak tahu status sosialnya. Sok bego aja, asal jangan jadi bego benaran. Jadi, saya langsung bertanya, kenapa mau beternak hewan? Apa nggak ada usaha lain? Dulu saat punya ayam beberapa ekor saja, saya repot mengurusnya. Setiap hari saya harus menyediakan pakan, membersihkan halaman, belum kalau ada hewan yang sakit. Sementara Ibu ini punya  peternakan pula. Kok, mau sih, repot-repot?




Akhirnya, beliau cerita kalau beternak sudah menjadi hobi sejak muda. Bangun pagi, sebelum mengurus diri sendiri, terlebih dahulu mereka mengurus hewan. Oya, peternakan ini sudah seperti bisnis keluarga dan dikelola bersama. Walaupun mereka tinggal di rumah lain, tapi tiada hari tanpa merawat peternakan. Begitu serius keluarga ini mengelolanya, hingga rela bolak-balik bahkan menginap di paviliun peternakan.


Mendengar ceritanya, saya langsung teringat dengan istilah passion. Pengertian passion di sini berbeda dengan hobi. Kalau saya dulu memelihara ayam cuma hobi. Kalau hobi dikerjakan asal hati senang. Jika situasi berubah, maka ternak pun bisa lenyap. Begitu rumah direnovasi, ayamnya  terpaksa diangkut ke kuali. Semua jadi menu dan pemeliharaannya nggak dilanjutkan lagi.


Beda dengan Ibu peternakan ini. Walaupun hasil peternakannya tetap dijual, tapi upayanya ini dilakukan secara berkesinambungan. Mereka sekeluarga mengurusnya dengan tekun, bukan asal ada seperti saya dulu. Hehehe. Tetapi, bukan berarti peternakannya nggak pernah rugi. Ada juga hewan yang mati, bahkan disatroni maling. Tetapi, usahanya pantang mundur. Walaupun secara ekonomi sudah oke, mereka lanjut terus.


Selalu ada alasan di balik suatu peristiwa. Terkadang yang kelihatan di permukaan tidak selalu sama dengan yang tersembunyi di dalam. Seperti Ibu peternakan ini, bukan uang lagi yang menjadi motivasi, tapi passion beternak hewan sejak muda. Kalau pun peternakannya digusur paksa, Ibu dan keluarganya masih bisa hidup layak.




Jadi, sebelum keberatan atau berasumsi dengan aktivitas orang lain, bertanyalah dulu. Dibalik kegiatan yang bisa mengernyitkan dahi, selalu ada alasan logis. Daripada ribut dengan tetangga, lebih baik komunikasikan masalahnya dengan mereka. Jangan lupa, tetangga adalah keluarga terdekat. Kalau ada kejadian kurang mengenakkan di rumah, mereka yang pertama datang membantu.


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.


Referensi gambar oleh Pixabay.

 



   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya. "Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri. Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu. Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin. Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng. Jawaban orang tua