Saat pertama kali mendengar nama kue tradisional pancong, yang terbersit dalam pikiran saya adalah hukuman mati bagi pelaku kriminal. Terpeleset lidah sedikit saja, pengucapannya pasti sama. Sekarang hukuman tersebut memang sudah dihapuskan, tapi sempat menjadi catatan kelam sejarah dunia saat Revolusi Prancis. Jadi, apa ada korelasi antara Prancis dengan kue pancong Indonesia?
Ternyata ini cuma kesalahpahaman. Julukan boleh mirip, tapi dilihat dari asal usul daerah tentu sudah berbeda. Namun, walaupun tidak berkorelasi, kue pancong dan Revolusi Prancis sama-sama uzur. Jika revolusi terjadi tahun 1789, maka kue pancong diperkirakan mulai muncul pada tahun 1600-an, yaitu di Betawi pada zaman kolonial Belanda. Walaupun sudah tua dari sisi sejarah, kue ini awet sampai zaman internet.
Tetapi, sampai sekarang asal usul nama kue pancong masih simpang siur. Konon, kata cong berarti setengah lingkaran atau cangkir mengacu pada bentuk cetakan kue. Tetapi, ada pula yang mengatakan kalau pancong adalah singkatan dari pantat dicongkel. Sebutan ini berasal dari cara penjualnya yang mencungkil dasar cetakan dengan alat khusus seperti pisau. Intinya, seperti mencolek-colek bokong. Iya juga, ya.
Saya ingin menulis tentang kue pancong, tapi rasanya ide kurang menggigit jika tidak menikmati kudapan ini secara langsung. Maka, pada suatu sore ketika matahari bersinar cerah di musim hujan, saya menyempatkan waktu berjalan-jalan ke taman kota demi menikmati seporsi kue pancong. Kenapa harus ke taman kota? Konon, dulu kue pancong sering dinikmati bersama keluarga di sore teduh sambil minum teh.
Sumber : Foto milik pribadi
Di tengah hiruk pikuk kota, taman asri di bawah naungan pohon menjadi lokasi teduh dan syahdu untuk mengemil kue. Lebay? Enggak juga. Terkadang untuk mendapatkan inspirasi menulis, dibutuhkan tempat yang tepat. Nah, walaupun berlokasi di antara hilir mudik kendaraan, taman kota memberikan ketenangan dan kesejukan alami bagi pengunjung. Siapa tahu di sana bisa mendapatkan inspirasi.
Di antara pepohonan tersebut, banyak bangku yang masih berfungsi dengan baik. Lahannya pun bersih dari sampah dedaunan yang menumpuk dan membusuk. Pengunjung nyaman dalam taman yang terawat rapi. Saat saya tiba di sana, beberapa pasang orang tua sedang berjalan-jalan bersama anak-anak kecil.
Para bocah riang berceloteh sambil berlarian dan melompat di antara rerumputan dan jalan setapak berbatu. Mereka semakin gembira ketika menemukan arena permainan anak. Sejenak keluarga-keluarga kecil itu mampu melupakan layar gawai, serta konten medsos yang tak pernah berhenti berputar di dunia maya.
Saat itu, saya datang sendirian dan asyik memperhatikan orang-orang melintas. Walaupun hanya seorangan, tapi saya tidak merasa terasing dari keramaian. Ada saja beberapa orang yang memandang saya dari kejauhan. Mereka menatap dengan sorotan mata tajam, lama, dan penuh harapan. Kemudian, mereka datang dan menyapa ramah.
“Nggak beli minuman?”
“Pesan nasi goreng sama kami, yok.”
“Nih, kerupuknya murah meriah.”
Iyalah, yang mendatangi saya pedagang makanan. Emang, siapa lagi?
Tetapi, tawaran mereka terpaksa ditolak. Saya telah membawa botol minuman sendiri dari rumah. Soal makanan, ya itu tadi, sudah tersedia sebungkus kue pancong yang dibeli dari pedagang pasar. Menikmati kudapan itu paling enak pada suasana sejuk alami, dengan desiran angin seperti berbisik dari sela dedaunan.
Sumber : Canva Free
Di tengah nuansa demikian, saya membuka bungkusan kue pancong. Penganan itu masih hangat dan membuat lambung meronta-ronta. Gigitan pertama, rasanya kok beda. Biasanya kue pancong yang saya santap teksturnya kasar karena bercampur dengan parutan kelapa. Bentuknya pun agak keras ketika dikunyah. Kue ini agak lain dari yang biasa dijual. Cuma, saya lebih suka dengan kue yang saya santap sekarang.
Alasannya, sederhana. Kue pancong yang tidak dibubuhi parutan kelapa terasa lebih lembut di lidah. Kalau dikunyah, makanan ini seperti lumer di mulut. Meskipun bukan melumer seperti coklat, tapi lembut dan tidak terlalu manis. Hanya dalam hitungan menit, beberapa potong kue langsung meluncur ke lambung.
Kue pancong memang mantap menjadi teman mengisi waktu sore. Sambil melamun menatap orang-orang yang lalu lalang, tanpa terasa potongan demi potongan lenyap tanpa bekas. Rasa kue yang netral, cocok untuk orang Sumatera yang umumnya kurang suka makanan terlalu manis. Camilan tradisional dengan harga terjangkau ini, tepat bagi hampir semua kalangan.
Filosofi Kue Tradisional Pancong
Menyantap kue pancong tidak hanya membahas tentang tekstur dan rasanya yang pas di lidah. Di balik tampilannya yang merakyat, kue setengah lingkaran ini memberikan filosofi yang dapat menjadi teladan.
Sederhana
Bahan kue tradisional pancong mudah diperoleh di pasar dengan harga terjangkau, yaitu tepung beras, kelapa parut, santan dan garam. Hampir semua strata sosial mampu membelinya. Dijamin, mengolah kue pancong tidak akan membuat kantong jebol. Filosifi ini mengajarkan supaya kita menghargai kesederhanaan, bukan hanya mengejar kemewahan.
Sumber : Canva Free
Ketelitian
Jika melihat abang penjual kue pancong bekerja, sepertinya mudah saja mengolah makanan ini. Padahal, belum tentu demikian. Api terlalu besar atau terlambat mengangkat kue, menyebabkan penganan gosong. Kalau sudah gosong, rasanya pun tidak cocok lagi.
Dari sembilan potong kue pancong dalam satu porsi yang saya dibeli, dua potong gosong. Karena gosong, teksturnya agak keras dan pahit di lidah. Sedangkan kue yang matang pas, rasanya pun menancap pada indera perasa kita. Jadi perlu ketelitian untuk mendapatkan rasa kue idaman.
Keterampilan
Mengaduk bahan-bahan kue agar merata dan tidak menggumpal membutuhkan keterampilan serta kesabaran. Jika hanya mau cepat selesai, adonan kue kurang menyatu dan mempengaruhi hasil akhirnya. Jadi, mengadon kue pancong pun perlu kemauan untuk terus belajar hingga mahir dan terampil.
Kebahagiaan
Menyantap kue pancong bersama orang terkasih menciptakan kenangan membahagiakan. Kue sederhana ini pas dihidangkan bersama teh untuk rekan dan kerabat pada sore hari. Obrolan seru dengan mereka menjadi momen berharga. Kenangan bukan hanya disimpan dalam foto, tulisan, atau video, tapi juga dari makanan yang merakyat.
Kearifan Lokal dan Warisan Budaya
Salah satu cara melestarikan budaya adalah melalui kuliner. Kue pancong yang telah muncul sejak abad ke-17, masih tersedia dan digemari penikmat kuliner sampai sekarang. Di tengah gempuran kudapan modern, penjual kue pancong masih terlihat di pasar dan kaki lima. Pembelinya beragam dari segala usia. Mudah-mudahan generasi penerus tetap mengenal dan melestarikan kuliner nusantara ini.
Inovasi dan Kreatif
Walaupun terdiri dari bahan-bahan sederhana, di tangan pebisnis kuliner handal kue pancong dapat menjadi ide kreatif yang memberdayakan. Jika dibeli pada abang di pasar atau kaki lima, harga seporsi isi 10 potong berkisar 5 – 10 ribu. Namun, akan berbeda jika kue dibubuhi topping kekinian, seperti coklat, keju, matcha, nutella, hingga es krim. Dalam sajian demikian, seporsi dibandrol sampai Rp 20 ribu.
Sumber : Canva Free
Lain lagi cerita jika kue pancong disajikan pada cafe, toko kue, atau restoran ternama. Kasta camilan ini akan naik, apalagi jika dikemas dalam kotak menarik, diberi pita perak atau keemasan, serta ditempelkan branding memikat. Bibit, bebet, bobot boleh sederhana, tapi pada tangan dingin pebisnis kreatif kue tradisional menjelma menjadi sajian bergengsi. Dalam bisnis kuliner demikian, harganya bisa mencapai puluhan ribu per porsi.
Kue Pancong Lintas Budaya
Budaya Betawi telah menciptakan kue tradisional yang lezat sekaligus tangguh melintasi zaman. Setelah berabad-abad, kue ini tetap tersaji untuk berbagai kalangan. Rasanya tidak terlalu manis, cocok sebagai duta kuliner lintas budaya. Tekstur kue netral karena tidak menggunakan gula. Campuran bahan-bahannya sudah pas untuk orang yang tidak terlalu suka makanan manis, seperti umumnya di Sumatera.
Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk melestarikan warisan budaya bangsa. Salah satunya adalah dengan menghargai kuliner anak negeri, seperti kue tradisional pancong. Sesekali jika melihat abang penjual kue, belilah dagangannya. Selain untuk menghargai warisan budaya nusantara, kita juga sudah membantu usaha para pedagang. Toh, mereka saudara kita juga, kan.
Bagi yang memiliki kepiawaian berbisnis kuliner, kenapa tidak mencoba mengolah kudapan sederhana ini menjadi produk bergengsi? Dengan upaya ini, kue pancong yang dipandang sebagai camilan sejuta umat, bisa naik kelas menjadi penganan premium yang tersedia untuk kelas sosial tertentu.
Kue pancong memang dekat dengan masyarakat Indonesia dan diperdagangkan di berbagai lokasi. Ayo, kita ikut melestarikan camilan lezat dan terjangkau ini, agar anak cucu kita kelak dapat mengenal warisan kuliner leluhur.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Komentar
Posting Komentar