Langsung ke konten utama

Larangan Anak-anak Bermain saat Senja, antara Mitos dan Fakta

 



"Ayo, masuk ke rumah. Sudah hampir malam, nih, nanti kalian diculik gendoruwo!"


Kalimat ini mungkin sudah tidak asing bagi kita pada masa kecil. Saat itu rasanya kesal sekali karena sedang seru-serunya bermain, tapi sudah disuruh pulang. Lagipula, senja atau saat matahari hampir terbenam belum terlalu gelap. Jadi, kenapa pula harus segera pulang?


Bukan hanya generasi dahulu, para bocah zaman sekarang pun kerap mendapatkan peringatan serupa dari orang tua mereka. Jika anaknya membandel, orang tua sering kali menyebut nama-nama dedemit dengan lengkap. Sejak dulu sampai sekarang mahluk tak kasat mata ini memang ampuh menimbulkan ketakutan. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun masih sering bertanya, benarkah para lelembut muncul saat senja?


Bukan hanya di tanah air, di luar negeri mitos tentang mahluk halus menjelang senja telah menjadi urban legend. Di Jepang ada sosok Yűrei (hantu melayang) yang digambarkan sebagai perempuan berambut panjang mengenakan kimono putih. Sementara di Eropa ada kisah The Wild Hunt yang diilustrasikan tentang roh-roh berkuda yang menjemput nyawa manusia saat senja menjelang.  


Jadi, benarkah ada mahluk halus yang menculik para bocah ketika matahari mulai meredup? Sulit untuk menjelaskan mitos ini secara pasti karena tidak ada bukti konkret, atau pengakuan langsung dari mereka yang mengalaminya. Tetapi, secara ilmiah, ada penjelasan mengapa anak-anak bahkan orang dewasa, sebaiknya menghentikan aktivitas sejenak menjelang senja. 





Jika dilihat dari pengalaman, sebenarnya, bukan anak-anak saja yang perlu henti sejenak saat senja. Orang dewasa pun disarankan rehat dulu saat matahari baru terbenam. Pernah nggak memperhatikan kalau kita sering tersandung saat berjalan menjelang malam? 


Bagi yang hobi membaca buku, mata juga kurang nyaman membaca saat senja meski sudah menggunakan penerangan ruangan. Dulu orang tua saya sering melarang membaca buku saat peralihan waktu dari terang menuju gelap. Menurut mereka, suasana senja kurang baik untuk mata.


Maksudnya, apa dedemit mau mengganggu orang membaca? Tunggu dulu, berikut ada penjelasan logis tentang mengurangi aktivitas menjelang senja.

Fakta Ilmiah tentang Senja

Daripada sibuk menebak-nebak teka-teki dibalik senja, lebih baik mencari fakta ilmiah yang bisa dipertanggung-jawabkan. Segala sesuatu tentu ada alasannya. Begitu juga dengan senja yang indah, tapi membawa misteri. Ada beberapa alasan rasional mengapa orang perlu jeda sejenak saat hari menjelang senja.




Penglihatan  Terbatas

Salah satu fakta yang dapat menjelaskan larangan ini adalah terkait dengan kemampuan pandangan mata manusia. Menjelang senja, cahaya alami mulai berkurang, dan ini dapat mempengaruhi kemampuan mata untuk melihat dengan jelas. 


Dalam kondisi cahaya redup, pupil mata manusia harus mampu beradaptasi, dan proses ini membutuhkan waktu. Penurunan intensitas cahaya membuat kita lebih sulit untuk melihat detail, sehingga risiko kecelakaan meningkat. 


Menurut Dr. Mark Silverberg, seorang ahli dokter spesialis mata (oftalmologi) berasal dari AS, cahaya senja menyebabkan kontras visual menurun, yang dapat mengaburkan objek di lingkungan sekitar dan membuat orang lebih rentan terhadap bahaya, seperti tersandung atau terjatuh. Nah, berarti benar pengalaman saya yang mudah tersandung kala senja.

Kelelahan Fisik

Menjelang senja, tubuh manusia biasanya sudah mulai merasa lelah setelah beraktivitas sepanjang hari. Bagi anak-anak yang memiliki tingkat energi tinggi, kelelahan fisik ini dapat menyebabkan kurangnya koordinasi gerak tubuh dan konsentrasi. Ketika mereka lelah, respons motorik melambat, yang membuat para bocah lebih rentan terjatuh dan cedera.





Selain itu, malam hari adalah waktu di mana hormon melatonin mulai diproduksi lebih banyak dalam tubuh manusia, terutama pada anak-anak. Hormon ini berfungsi untuk membantu tubuh beristirahat dan tidur. Ketika anak-anak bermain hingga  senja tanpa jeda, siklus alami tubuh untuk  beristirahat terganggu. Hal ini akan berdampak pada kesehatan mereka jangka panjang. 


Meningkatnya Risiko Kecelakaan

Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat, kecelakaan pejalan kaki dan pengendara sepeda paling sering terjadi pada saat senja dan malam hari.  Hal ini dikarenakan penurunan visibilitas dan peningkatan jumlah kendaraan yang beroperasi pada jam-jam sibuk ini. Tubuh lelah dan mata yang kurang waspada menjadi kombinasi berisiko pada orang dewasa.


Sedangkan anak-anak yang bermain di luar pada waktu senja, lebih memungkinkan terpeleset atau tersandung. Bermain kejar-kejaran dengan teman, melompat, bersukaria tanpa pengawasan orang tua, membuat mereka rentan cedera. Terutama ketika senja dan jangkauan penglihatan sudah tidak setajam saat matahari masih bersinar. 

Senja Waktu Menjelang Istirahat

Beberapa tahun yang lalu,  sebuah serial televisi dari luar negeri berjudul Twilight Zone (Zona Senja) sempat populer. Mengusung genre misteri, serial ini menuturkan alur yang sulit ditebak dan diakhiri dengan plot twist. Penonton sering terkejut dengan akhir di luar dugaan. Misteri senja begitu populer hingga menjadi bagian dari serial televisi ternama. 





Meski generasi berganti, mitos yang melarang anak-anak bermain saat senja tetap diwariskan secara turun-temurun. Kita tidak bisa mencegah orang tua yang menasehati anaknya melalui kisah yang mereka dengar dari pendahulunya. Namun, bagi yang sudah paham penjelasan secara ilmiah, tak ada salahnya tetap ikut istirahat sejenak saat senja. Semua demi keselamatan bersama.


Bagi untuk anak-anak, sebaiknya memberikan penjelaskan ilmiah tentang senja pada mereka. Pada awalnya, mungkin mereka akan bingung karena selama ini lebih sering mendengar cerita horor. Namun,  seiring bertambahnya usia, anak-anak mulai paham. Mitos memang tak akan lekang ditelan zaman, tapi fakta dan logika penting untuk menjawab beragam pertanyaan yang muncul. 


Foto dikutip dari Canva Free.


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Kolaborasi #SuamiIstriMasak dari Kacamata Seorang Pejuang Mandiri

    Berstatus sebagai pejuang mandiri, atau lajang, alias jomblo, di usia yang tak lagi muda agak menakutkan terutama bagi wanita. Berbagai tudingan ditujukan pada individu yang masih betah melajang. Ada yang mengatakan karena tidak pandai bergaul, kurang menarik, hingga omongan lain yang cukup menggigit. Hadeh!   “Sudahlah, asal ada yang mau langsung menikah aja. Nggak usah tanya ini itu segala macam. Mau tunggu apalagi? Daripada kelamaan sendirian.”   Omongan pedas seperti ini sudah sering hinggap di telinga saya. Biasanya, kalau ketemu yang beginian, saya cuma bisa menghela napas sambil berlalu.  Dalam hidup, ada hal yang tak perlu ditanggapi serius.   Walaupun banyak omongan pedas berseliweran, banyak kok para pejuang mandiri yang tetap kalem.  Biasanya, kicauan ramai justru datang dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Repotnya, kalau ada keluarga yang terprovokasi dan langsung kepanasan, hingga mendesak untuk segera menikah. Padahal, keputusan menikah sebaikn