Punya kenangan apa pada masa sekolah? Dihukum guru dengan menghormat bendera saat siang bolong? Cabut bersama? Cinta pertama, atau apa lagi? Umumnya, kenangan masa sekolah selalu berkisar pada guru dan teman-teman. Jarang ada yang membahas objek lain.
Bagi yang berangkat sekolah naik angkutan kota (angkot), pengalaman menggunakan transportasi umum ini ikut meramaikan kenangan masa lampau. Perjuangan menumpang kendaraan tersebut tak boleh dipandang sebelah mata, apalagi banyak sopir angkot menolak membawa anak sekolah. Biasanya ini terjadi pagi hari ongkos siswa-siswi lebih murah daripada orang dewasa. Rugilah kalau membawa banyak anak sekolah.
Bersama keluarga, saya sudah naik angkot sejak kecil. Karena dulu tinggal di kota kecil, saat duduk di bangku SD saya masih jalan kaki ke sekolah. Lokasinya lumayan dekat dari rumah. Nah, setelah SMP harus ikut les dan kemudian pindah ke kota besar, saya mulai naik angkot sendirian. Selama ini biasa ditemani, sekarang harus mandiri. Di sini kisah perjalanan bersama transportasi publik ini dimulai.
Mengapa saya tertarik berkisah tentang naik turun kendaraan umum tersebut? Bagi saya, angkot juga ‘sekolah’. Bedanya, sekolah formal mendidik saya tentang ilmu pengetahuan, sedangkan angkot mengajarkan saya ilmu kehidupan. Keduanya sama-sama penting untuk meraih, ehm, hidup berkualitas. Sampai sekarang dua jenis ilmu ini masih saya cari dan gunakan. Uniknya, ilmu dari angkot saya peroleh saat menuntut pendidikan.
Sama seperti gedung sekolah, alat transportasi ini memberikan beragam kenangan yang diingat sampai sekarang. Memori ini memberikan pengalaman lucu kalau dikenang lagi. Dari sekian banyak kejadian, ada tiga peristiwa yang perlu diulas.
Gara-gara Mamak-mamak Marah-marah
Berpergian sendirian naik angkot awalnya biasa saja untuk saya. Toh, sudah sering, kan, naik kendaraan ini dari kecil. Bedanya sekarang mandiri tanpa dikawal keluarga, tapi saya enggak takut. Namun, pikiran itu berubah ketika suatu hari naiklah seorang Ibu dengan wajah marah. Dia duduk persis di depan saya.
Mungkin Ibu ini sedang punya masalah di luar. Saat naik ke angkot, dia sudah mengomel-ngomel hanya karena masalah sepele. Disenggol penumpang sedikit, langsung mengamuk. Sepanjang perjalanan dia terus cerewet sambil mengoceh dalam bahasa daerah setempat. Saya tidak mengerti yang diucapkannya karena bukan berasal dari suku tersebut. Suaranya luar biasa nyaring, tapi tidak merdu dan justru mengganggu.
Penumpang kiri kanan kena semprot tanpa ampun. Hebatnya, tak ada seorangpun yang peduli dan mereka cuma memandang Ibu tersebut tanpa ekspresi. Hanya saya saja yang ketakutan sambil meringkuk di sudut angkot. Badan sudah mungil, semakin menciut karena merapat ke dinding angkot. Untung sampai turun saya aman dari semprotannya.
Di tempat kami, Ibu-ibu biasa disebut dengan mamak-mamak. Sama seperti daerah lain, para mamak ini sebagian temperamental. Kalau ketemu yang berkarakter demikian, sebaiknya jangan pernah coba-coba membuat mereka marah. Nanti trauma sendiri. Saya saja melihat mamak itu langsung gentar. Karena masih terbayang kejadian tersebut, sesampai di rumah saya langsung melaporkan pada Ibu.
“Aku takut naik angkot sendiri. Tadi ada mamak-mamak marah-marah tanpa sebab.” Begitu saya memulai cerita.
Ibu yang mendengar penuturan panjang lebar dari saya langsung menjawab. “Hah, itu aja udah takut. Banyak yang lebih parah dari situ. Makin sering kau naik angkot, makin banyak karakter orang aneh bakalan kau jumpai.”
Waduh! Berarti petualangannya masih panjang. Ini pasti baru permulaan. Mau menghindar dari angkot, sama artinya dengan saya menolak sekolah. Enggak mungkin, kan. Kalau begini, saya sebaiknya belajar dari penumpang yang disemprot tadi. Cuek saja dengan omelan orang lain, selama saya memang tidak mengganggu mereka.
Duduk Lesehan di Aspal
Sekitar tahun 90-an, bentuk angkot berbeda dengan sekarang. Pintu penumpang berada di belakang kendaraan. Kalau sekarang pintunya terletak di samping. Pada angkot lama, ruang antara penumpang dan pak sopir terpisah kaca. Penumpang tidak bisa mendengar pak sopir, demikian sebaliknya. Kalau mau berhenti tinggal tekan bel. Beda dengan sekarang yang tidak ada lagi pembatas. Jika mau turun, teriak saja pada pak sopir.
Angkot dulu pun lebih tinggi. Karena ketinggiannya, saya harus berhati-hati kalau turun. Gawat kalau sampai terjatuh. Masyarakat kita punya motto yang diwariskan turun temurun. Apa itu? Sakitnya tak seberapa, malunya ini. Karena itu, setiap saya turun dari angkot saya selalu melangkah perlahan, anggun, sambil melambaikan tangan, dan tersenyum kiri kanan. Eh, salah. Maksudnya, selalu berhati-hati.
Namun, hari itu saya sedang naas. Entah kesenggol angin dari penjuru atas atau gimana, mendadak saya kehilangan keseimbangan saat turun dari angkot. Pandangan seperti bergoyang-goyang dan kabur. Saat sudah stabil, saya telah terduduk di atas aspal. Posisinya persis seperti orang yang lesehan di rumah makan menunggu pramusaji datang. Bedanya, kali ini berada di pinggiran jalan yang panas terik.
Dua penumpang yang ada dalam angkot memandang saya takjub. Bukannya menolong, mereka hanya menatap tanpa berkedip. Walaupun masih SMP, saya tahu cara menutupi rasa malu dan menjaga gengsi. Jadi, saya langsung berdiri dengan kepala tegak dan dagu mendongak. Pura-pura kuat, tapi dalam hati meringis. Namun, malunya belum selesai karena ternyata pak sopir melihat adegan tadi dari kaca spion. Lengkaplah tengsinnya.
Tiga Orang Misterius dalam Angkot
Ibu saya benar ketika mengatakan banyak orang ajaib dalam angkot. Jika ada yang ingin mengamati beragam karakter orang, sering-seringlah menggunakan fasilitas umum, termasuk angkot. Di tempat publik seperti ini, kita belajar bersabar karena bertemu dengan bermacam karakter. Termasuk dalam kejadian yang akan saya ceritakan selanjutnya.
Nah, peristiwa berikut terjadi saat SMA. Setiap Minggu sore, saya mengikuti Pramuka di sekolah. Biasanya, saya pulang bersama dua teman. Karena kegiatan selesai pukul 17.00, maka pukul 18.00 kami sudah tiba di rumah masing-masing. Tetapi, sore itu saya ada urusan dan pulang sendirian. Sudah hampir pukul 18.00 saat saya pulang dari sekolah. Hari mulai gelap. Begitu ada angkot jurusan rumah melintas, langsung distop.
Minggu sore, umumnya angkot agak sepi atau tidak penuh seperti hari kerja. Penumpang yang biasa pulang pergi kantor atau sekolah, hari ini tinggal di rumah. Angkot yang saya stop juga sepi. Saat naik, di dalam hanya ada tiga orang pria seusia mahasiswa. Mereka duduk pas di belakang sopir. Namun, sopir tetap tak bisa mendengar obrolan penumpang karena ada kaca pembatas. Jadilah kami duduk berempat di bagian belakang angkot.
Saya ambil posisi dekat pintu supaya berjauhan dari mereka. Perasaannya kurang enak saja berdekatan dengan tiga laki-laki asing. Apalagi melihat saya naik, mereka langsung senyum-senyum. Saya adem ayem karena sering ketemu orang-orang usil di angkot. Asalkan mereka tidak mencolak-colek, abaikan saja.
“Baru pulang latihan Pramuka?” Salah seorang dari mereka mulai menegur.
Saya diam. Sudah tahu, kok, bertanya lagi.
“Nama kamu Christina, kan? Tuh, ada di seragamnya.” Sekarang mereka menunjukkan tulisan yang tertera di lengan seragam Pramuka.
Saya memandang pria yang ngomong tadi dengan geli. Lucunya ini orang. Gelar kesatuan Pramuka puteri di sekolah diambil dari nama seorang pahlawan wanita. Kita sebut saja Christina. Nama Srikandi ini tersemat sebagai badge di lengan seragam Pramuka puteri. Masa orang ini tidak bisa membedakan badge satuan dengan nama asli?
Mereka terus mengoceh, bahkan ketika ada penumpang lain yang naik. Saya tak menanggapi dan cuma bisa berharap segera sampai di rumah. Hari semakin gelap. Mudah-mudahan orang-orang ini tidak akan mengganggu lagi. Seram juga mendengar mereka mengobrol terus.
“Christina sombong, ya, dari tadi enggak mau menjawab kami.”
Saya tetap bungkam. Untuk apa ditanggapi? Nama saya bukan Christina. Dia salah menyapa orang. Lagi pula usil banget memanggil-manggil, padahal enggak saling dikenal.
Kemudian, saya melihat mereka merogoh kantong dan mulai menghitung uang sambil berbisik-bisik. Saya menarik napas lega. Syukurlah, akhirnya ketiganya akan turun. Huff! Tak lama kemudian, salah seorang dari temannya menekan bel. Angkot pun berhenti.
“Kami duluan, Chistina.” Mereka pamit ketika lewat di depan saya.
Saya terus membisu.
Setelah turun dari angkot, salah seorang dari ketiga pria itu menoleh ke arah saya.
“Christina, ongkosmu kami bayar, ya,” katanya.
What!?! Apa enggak salah dengar? Selama ini saya sering naik turun angkot bersama teman-teman. Tidak pernah sekalipun ada yang membayari. Kami selalu memakai uang masing-masing. Sekarang orang tak dikenal mau membayari? Halah! Gombal. Tetapi, sudahlah. Setidaknya saya tenang karena mereka sudah pergi.
Namun ketika turun karena sudah tiba di tujuan, jawaban pak sopir saat saya menyodorkan ongkos membuat kaget.
“Sudah dibayar kawannya tadi, Dik.”
Saya tertegun. Jadi, beneran, nih?
Saat itu rasanya ingin ketawa. Tadi saya sudah ketakutan setengah hidup melihat mereka. Ternyata, ketiganya malah membayarkan ongkos. Nominal uang memang tak seberapa, cuma aneh saja. Terkadang orang asing yang kita anggap mengganggu, ternyata menjadi penolong. Sebaliknya, teman yang dipikir baik, justru menjadi penikam punggung. Pernah mengalami kejadian demikian?
Sampai sekarang, saya tidak pernah lagi bertemu dengan ketiga orang asing itu. Wajahnya pun tak ingat karena saya hanya sekilas memandang mereka. Ada-ada saja. Memang banyak kejadian unik dalam angkot. Meskipun begitu, sebaiknya tetaplah berhati-hati pada orang asing. Jangan mau tergiur dengan ongkos gratis. Wkwkwk.
Angkot, Setia Antar Jemput Pulang Pergi Sekolah
“Ah, dia cuma naik angkot.”
Jangan tersinggung jika ada yang berkomentar demikian. Mungkin yang ngomong itu belum pernah naik angkot. Dia tidak mengerti suka duka menumpang transportasi publik ini. Sesekali coba saja ajak. Siapa tahu dia justru ketagihan dan besoknya ingin ikut lagi. Atau karena malu bakalan diledek, diam-diam dia menyetop angkot sendiri.
Beruntunglah yang pernah rutin naik angkot. Untuk anak sekolah, menyetop kendaraan itu ibarat tantangan yang harus dihadapi setiap hari. Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, pagi hari siswa-siswi sering ditolak oleh pak sopir. Alasannya, ongkos anak sekolah terlalu murah. Jadi, sejak remaja saya sering merasa tertolak walaupun oleh angkot. Sedih? Ya, cuma kalau keterusan sedih saya bakalan sering terlambat dan dihukum guru.
Dalam situasi begini, naik angkot pun harus diakali supaya jadwal ke sekolah selalu tepat. Saya bangun cepat setiap hari dan berangkat selekas mungkin. Hari sudah cukup terang saat keluar rumah, tapi jalanan masih lengang ketika saya menyetop angkot. Karena belum banyak penumpang, pak sopir mau menerima anak sekolah. Amanlah saya. Terlambat sedikit saja berangkat dari rumah, bakalan kacau situasi.
Sekolah masih sepi ketika saya tiba. Udara pagi yang segar ikut menyambut di gerbang. Dalam kelas, baru sekitar 1 atau 2 orang teman yang datang. Kami duduk santai di ruangan menunggu kawan lain, serta bel tanda masuk. Nuansa rileks dan tidak buru-buru begini justru membuat suasana belajar lebih nyaman. Berkat upaya kejar-mengejar angkot, saya termasuk siswa tercepat datang ke sekolah.
Jadi siapa bilang naik angkot itu enggak butuh perjuangan, terutama untuk siswa-siswi? Karena sering ditolak, remaja-remaja itu harus putar otak agar sampai ke sekolah dengan selamat dan tepat waktu. Mereka pun belajar mencari solusi dari masalahnya. Ternyata angkot mampu mendorong anak sekolah menjadi lebih cepat dewasa.
Nah, jangan minder lagi naik angkot, ya. Bagi yang belum pernah, yuk, cobalah menumpang angkutan ini dan rasakan sensasi berbeda.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Komentar
Posting Komentar