Semasa kecil, sudah biasa kalau kita mempunyai teman yang baik, manis, lucu, menggemaskan, dan humoris di sekolah. Hampir semua anak pernah memiliki kawan berkarakter demikian. Tetapi, bagaimana kalau ada teman yang keras kepala dan sulit diatur? Perempuan pula. Saking dominan, siswa pria pun kecut melihatnya.
Saya sebut saja namanya Xeni, supaya mirip tokoh puteri perang yang populer zaman televisi dulu. Karakter teman sekelas saya ini memang gempal seperti pemain film itu. Bedanya, Xeni berpostur pendek dan agak gemuk, tidak seperti tokoh asli yang tinggi, besar, dan tangguh. Bodi mungil Xeni memang berbanding terbalik dengan nyalinya. Bahasa tubuh gadis cilik itu jauh dari kesan gemulai. Model rambut pun cepak persis pria.
Baju Xeni lusuh, kesempitan dan tipis, sehingga singlet yang menempel di tubuh ikut mengintip. Pada roknya ada sedikit robekan. Hmm, apa dia berasal dari keluarga susah, sehingga berpenampilan demikian? Tunggu dulu. Jangan menghakimi seseorang hanya dari penampilan. Xeni berbeda, apalagi di balik seragam sekolah yang kesempitan itu menyembul lemak. Jarang ada orang sederhana yang memelihara lemak bergelantungan di tubuhnya.
Kami adalah sekumpulan kanak-kanak yang belajar pada salah satu sekolah swasta elite. Banyak teman saya berasal dari keluarga berkecukupan, seperti anak dokter, pengusaha, hingga petinggi dari instansi pemerintahan atau pun swasta. Bapak saya saja yang pegawai biasa. Dari semua teman, mungkin keluarga kami yang paling sederhana di sana.
Kalau Xeni sendiri? Saya kurang tahu pekerjaan orang tuanya, tapi hampir semua guru di sekolah mengetahui namanya. Para guru mengobrol akrab dengan Xeni seperti sudah lama saling mengenal. Saya sendiri pernah melihat rumahnya yang berlokasi di jalan protokol. Ukuran dan bentuk bangunan itu mampu membuat saya minder. Eh, kenapa minder? Meskipun tinggal di rumah sederhana, tapi saya lebih bersih ke sekolah.
Sosok Xeni sebenarnya kontroversi. Menurut sebagian teman dia pembully, tapi ada pula yang mengatakan kalau cerita itu hanya isapan jempol. Mana yang benar, saya kurang tahu. Xeni tidak pernah terlihat mengganggu teman-teman. Laporan negatif pada guru pun senyap. Dengan saya, Xeni tidak pernah mengganggu, mencubit, mendorong, apalagi memukul, seperti yang dilakukan pembully. Jadi, pertemanan kami baik-baik saja.
Hingga suatu hari ada kejadian yang membongkar karakter aslinya.
Cerita tentang Xeni
Di sekolah, setiap siswa wajib membayar iuran Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) setiap bulan. Untuk saya nominalnya tidak memberatkan, cuma uang saku selama satu hari. Saya tidak pernah meminta iuran UKS dari orang tua. Uang saku satu hari saya ikhlaskan menutupinya. Toh, absen jajan sehari tidak akan membuat saya pingsan.
Setiap bulan, ada siswa dari setiap kelas yang ditugaskan untuk mengutip dari teman-temannya. Pengutipan dilakukan selama 30 hari. Jadi, iuran UKS September dikutip pada 1 – 31 Agustus. Demikian seterusnya setiap bulan. Biasanya seorang siswa ditugaskan selama tiga bulan, baru kemudian berganti dengan yang lain.
Sekali waktu, saya kena giliran bertugas. Mulailah saya mendatangi semua teman sekelas. Hampir tidak ada yang bermasalah, hingga tiba pada Xeni.
“Nanti, ya, kubayar,” jawabnya singkat saat saya menagihnya waktu istirahat.
Tanpa rasa bersalah, dia pergi ke kantin. Xeni melangkah santai tanpa menoleh. Tangan kanan masuk ke kantong yang tersemat di rok lusuh dan kependekan. Bokong melenggak-lenggok seperti meledek. Saya mengamati dengan kesal. Sesampai di kantin dia membeli beberapa jajanan dan melahapnya. Kalau diamati, pasti uang jajannya lebih banyak dari saya. Anak siapa dulu? Terus, kenapa iuran UKS enggak dibayar?
Saya terus menagih hingga akhir bulan, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, dalam bulan itu selama dua hari saya puasa jajan. Saya harus menutupi iuran untuk kami berdua. Kok, enggak melapor ke guru? Mungkin ada yang bertanya demikian. Waktu kecil, saya agak culun. Sekarang pun masih ada sedikit. Wkwkwk. Bisik-bisik reputasi Xeni yang pembully, membuat saya gentar. Jangan pula gara-gara uang jajan sehari, jadi babak belur.
Bulan berikutnya, saya kembali ditugaskan guru. Sekali ini saya mau mencoba lagi. Maju terus pantang mundur. Lompati semua tantangan yang menghadang. Masa takut? Mau jadi apa sudah besar kalau kecil sudah penakut? Hasilnya? Saya cuma gigit jari. Setiap hari saya hanya memandang Xeni menyantap mie sop, kerupuk, coklat, permen, biskuit, serta aneka minuman di kantin, tanpa membayar iuran UKS.
Bulan berikutnya, saya minta berhenti tugas sama guru dan digantikan dengan yang lain. Ya, saya merasa gagal. Untunglah permintaan saya dipenuhi, karena setiap beberapa bulan anak yang bertugas mengutip iuran akan berganti. Akhirnya, saya pun bisa menarik napas lega. Sekarang enggak perlu berurusan lagi dengan teman yang unik ini.
Selesai sampai di situ? Belum.
Saya punya teman lain yang cukup akrab, sebut saja namanya Anna. Kami berdua berteman lama dan sering mengobrol di sekolah. Suatu hari, saya berkunjung ke rumah Anna. Kami asyik bermain dan bertukar cerita di sana hingga sore menjelang pulang. Sebelum pamit, Anna memberikan saya banyak uang kuno Indonesia yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya. Saya senang sekali. Lumayan untuk koleksi.
Namun, pertemanan sering mengalami ujian. Begitu juga dengan saya dan Anna. Karena kesalahpahaman, dia marah pada saya. Melalui seorang kawan, Anna mengatakan akan meminta kembali uang kuno yang diberikan untuk saya. Karena merasa enggak bersalah, saya menolak. Lagi pula barang yang sudah diberi tak boleh lagi diminta, kan? Ya, namanya juga anak-anak. Kalau ingat kejadian ini saya sering geli sendiri.
Xeni yang kebetulan mendengar masalahnya, segera menawarkan bantuan. Dia mau menyimpan uang kuno itu sampai urusan saya dengan Anna selesai. Anehnya (atau begonya), saya percaya saja dengan ucapannya dan melupakan peristiwa iuran UKS dulu. Waktu itu saya hanya berpikir, Anna tidak akan berani sama Xeni. Jadi, amanlah.
Tak lama setelah uang kuno diserahkan pada Xeni, saya malah berbaikan dengan Anna. Setelah kami berteman, mengobrol, dan bermain bersama lagi, dia tidak pernah menyinggung tentang uang kuno tersebut. Anna melupakannya begitu saja. Padahal, saya sudah ketar-ketir duluan.
Sekarang giliran urusan dengan Xeni yang perlu diselesaikan. Hasilnya bisa ditebak. Saya sudah tamat sekolah sejak puluhan tahun lalu, tapi uang itu tidak pernah kelihatan lagi. Berbagai upaya sudah saya usahakan untuk memintanya, mulai dari cara baik-baik hingga marah-marah dan mengomel. Tanggapannya? Dia cuma ketawa-ketiwi sambil melenggang pergi. Semua cara tak mempan menghadapinya. Xeni pergi tanpa rasa bersalah.
Sejak saat itu, saya tidak pernah percaya lagi dengannya. Dia memang tidak pernah membully saya secara fisik dan verbal, tapi kantong habis diporotin Kalau dituruti terus, Xeni dapat membuat mental ikut melorot. Mungkin kalau zaman sekarang, dia termasuk kategori teman toxic.
Cerita dari Dona
Setelah dewasa, saya bertemu dengan teman sekelas lain, sebut saja namanya Dona. Setelah mengobrol lama dengannya, saya baru tahu kalau ternyata dia dulu adalah salah satu korban bully dari Xeni. Sampai sekarang Dona masih trauma dengan perlakuan yang diterimanya. Hmm, berarti benar juga bisik-bisik yang saya dengar dulu.
Saya tanya, bagaimana keadaan Xeni sekarang? Melalui cerita Dona, saya tahu kalau Xeni sedang kesulitan finansial. Usaha yang dibangunnya dengan susah payah mulai goyang. Keadaan Xeni tidak baik-baik saja. Mengingat keadaan orang tuanya yang dulu sejahtera, agak sulit menerima kabar memprihatinkan tentang Xeni. Bukti kabur, apalagi jika saya tidak melihat sendiri. Benarkah yang dikatakan Dona?
Namun, setahu saya Dona sekarang menjadi anak yang supel dan punya banyak jejaring pertemanan. Boleh jadi, berita itu memang benar. Soalnya, beberapa teman alumni yang saya tanya tentang Xeni, selalu menghindar dan menolak memberikan jawaban. Ada apa ya, dengan Xeni? Sekarang Dona memberikan sekilas informasi yang mengejutkan.
Saya jadi teringat iuran UKS dan uang kuno yang dulu dirampas secara halus. Apakah hukum tabur tuai sedang bekerja? Entahlah. Kata orang, kita jangan menghakimi, apalagi jika tidak menyelidiki secara langsung. Kalau tidak berhati-hati, nanti bisa jadi fitnah. Lagi pula, semua uang yang ludes dulu sudah saya ikhlaskan, kok.
Di balik cerita ini, saya ada melihat pelajaran dari tingkah polah Xeni. Jika tidak diubah, maka karakter kita sejak masa kanak-kanak akan menjadi penentu nasib setelah dewasa. Akhir kata, bagaimana pun keadaannya, semoga Xeni baik-baik saja.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Foto dikutip dari Canva.
Komentar
Posting Komentar