Tinggal di pinggiran kota identik dengan terpencil, jauh dari keramaian, dan sulit menjangkau transportasi. Padahal, belum tentu. Sekarang bisa saja berdomisili di kota madya, bermukim di rumah modern tapi dengan pemandangan sawah, pepohonan, serta ladang penduduk.
Saya bermukim di kota madya Pem. Siantar, kota ke-2 terbesar di Sumatera Utara setelah Medan. Tempat yang terletak di ketinggian 300-500 meter dari permukaan laut ini, memberikan udara sejuk untuk warganya. Kalau musim hujan tiba, hawanya persis seperti daerah pegunungan. Sejuk.
Namun, bukan hanya penduduk yang terbuai oleh cuaca yang dingin. Beragam tetumbuhan, terutama, padi, sayur kangkung, kacang panjang, kacang tanah, cabai rawit, tomat, buah naga, dan pepaya tumbuh subur di sini. Jenis tanaman ini bisa langsung saya lihat menggantung di pohonnya. Lokasi rumah yang terletak pinggiran kota memang dikelilingi oleh areal persawahan dan ladang penduduk.
Matahari pagi menyapa alam. Tinggal bertetangga dengan pohon-pohon besar, membuat saya setiap hari nendengar kicauan burung, termasuk gagak yang awalnya menyeramkan. Di dahannya pernah kelihatan tupai berlarian
Ketika awal menetap di rumah sekarang, saya agak ragu dengan situasi pemukiman. Lokasinya berada di pinggiran kota yang masih dikelilingi semak belukar. Pohon-pohon tinggi besar menjadi tetangga.
Pengalaman Baru di Pinggiran Kota
Sebelumnya, saya tinggal di salah satu kota besar yang padat penduduk. Terbiasa hidup di antara hutan beton, agak aneh jika setiap hari akan melihat pepohonan tinggi. Seramnya, pada siang bolong gagak bersuara nyaring. Tahu sendiri, kan, mitos gagak di masyarakat kita? Semakin merindinglah saya.
Namun, hidup di lingkungan baru hanya perlu waktu untuk beradaptasi. Hari demi hari berlalu, dan suara gagak itu sekarang sudah seperti kicauan perkutut di telinga. Biasanya saja, tidak ada yang istimewa.
Gagak bukan berarti maut, tidak ada sangkut pautnya dengan mitos. Dia bagian dari alam yang menyemarakkan suasana dengan suaranya yang unik. Tiada yang perlu dirisaukan dengan sosok hitam yang beterbangan di antara pepohonan ini.
Bosan di rumah, ayo, jalan-jalan melihat gubuk di ladang jagung
Akhirnya, baru beberapa hari tinggal di sana, saya langsung menyusuri lokasi pemukiman ini. Sepanjang hari, suara alam cukup meriah. Gagak, jalak, pipit, bangau dan burung-burung lain beterbangan setiap hari. Mereka leluasa berkeliaran di antara pepohonan tinggi di sekitar rumah. Bahkan pada malam hari, suara mereka masih kedengaran di atap. Mereka menginap di atas.
Hanya itu saja yang bisa dilihat di sekitar rumah? Tidaklah. Setiap pagi atau sore hari, saat matahari tidak bersinar terik, saya sering berjalan-jalan keluar. Banyak tempat-tempat baru yang belum pernah saya jelajahi. Banyak menemukan hal baru, aktivitas ini mengubah cara pandang saya tentang lokasi yang awalnya seperti hutan kecil.
Tepat di daerah belakang rumah, saya menemukan sawah yang membentang luas. Mata saya benar-benar terpana saat melihat hamparan tanaman padi yang saat itu masih menghijau. Petak-petak dan gubuk di tengah sawah mengembalikan kenangan saya pada lukisan masa kecil. Ada juga yang suka melukis gunung, sawah, pak tani, dan matahari kuning?
Anak-anak di sini sudah biasa bermain-main di pematang sawah. Kaki-kaki mungil mereka lincah menyusuri pematang yang sempit dan licin. Mereka berlarian dan berkejar-kejaran dengan teman-temannya, tanpa terpeleset. Kalau saya disuruh menyusuri gundukan tanah sempit begitu, langsung angkat tangan. Baru beberapa langkah saja langsung terjerembap ke lumpur sawah.
Kiri : Irigasi di antara ladang jagung dan sawah yang mulai menguning.
Kanan : Pohon jagung yang buahnya berukuran lebih besar daripada yang biasa dijual di pasar
Selain tangguh berlarian di pematang, mereka juga memancing di irigasi yang membelah daerah pemukiman. Pengairan ini tidak terlalu dalam. Panjang dan lebarnya kira-kira 1,5 meter, sedangkan tinggi air hanya sekitar 30 sentimeter dalam keadaan normal. Tak heran, terkadang anak-anak bermain air di irigasi.
Bosan bermain di sawah atau irigasi, mereka berjalan-jalan menyusuri ladang-ladang penduduk. Tawa riang mereka memecah keheningan alam. Asyik juga melihat mereka bersukaria di tengah alam. Sejenak mereka melupakan gawai yang kerap menyita waktu bocah zaman sekarang. Keceriaan mereka mengingatkan saya kembali pada masa kanak-kanak dulu, ketika internet belum merajalela.
Saya tidak mampu berlari-lari di pematang sawah, apalagi bermain air di irigasi. Selain sudah tak sesuai dengan usia, masih ada kegiatan lain yang bisa saya lakukan. Menyusuri ladang-ladang, seperti anak-anak tadi, menjadi kegiatan rutin mengisi waktu. Dengan berjalan-jalan di alam bebas sekitar, saya menemukan berbagai sayuran, buah, hingga padi yang segar langsung di langsung pada pohonnya.
Aman menyusuri ladang jagung karena dekat pemukiman
Saya suka menyusuri ladang jagung. Seumur hidup, baru sekali ini saya jalan kaki di sekitar ladang jagung yang dekat pemukiman penduduk. Saat masih kecil, sebenarnya saya pernah diajak orang tua ke ladang. Dulu kami memiliki sebidang tanah di kampung. Namun, pada masa itu ladang identik dengan sepi dan terpencil. Pokoknya, jangan pernah coba-coba menjelajah seorang diri.
Situasi ini berbeda dengan pemukiman saya sekarang. Lokasi rumah, sawah dan ladang jagung yang saya telusuri, hanya sekitar 200 – 300 meter dari jalan utama. Kalau mau ke tengah kota jalan-jalan, jarak yang ditempuh sekitar 10 menit dengan angkutan umum, tanpa macet. Dekat, kan?
Kalau ingin berganti suasana, mudah saja menemukan transportasi. Jadi, tidak ada istilah terperangkap di daerah terpencil, di tengah persawahan dan ladang penduduk. Bosan di rumah, saya bisa cuci mata ke kota kapan saja. Namun, sebagian besar waktu luang saya digunakan untuk menjelajahi daerah baru ini.
Apa saja yang dilihat saat menyusuri persawahan dan ladang penduduk? Banyak, buah-buahan yang dulu hanya dilihat di pasar, sekarang tampak menggantung di pohonnya. Seperti buah naga, saya baru tahu kalau pohonnya mirip kaktus raksasa. Ada lagi kacang panjang yang terurai di pohonnya. Buahnya lebih segar dan berukuran besar dari yang biasa dijual di pasar.
Sebelah kiri adalah pohon tomat yang tumbuh liar.
Sebelah kanan merupakan daun kemangi yang benar-benar wangi
Tanah di sini memang subur hawanya pun sejuk, cocok untuk bertani. Salah satu contohnya adalah pohon tomat yang tumbuh sendiri di antara batu-batuan di belakang rumah. Tanpa ditaburkan bibit, tumbuh liar. Cuma, memang perlu perawatan agar tanaman ini tetap awet. Ada beberapa pohon tomat yang tumbuh di sini. Cuma, karena perawatannya kurang maksimal, pohon itu akhirnya mati.
Serangga dan Hewan Melata
Apakah hanya tumbuhan dan burung-burung yang betah di sini? Tidak juga. Ada beragam jenis jenis fauna, terutama serangga, saya temukan di lingkungan sekitar. Saking beragamnya serangga yang berkeliaran, hewan mungil ini sering masuk ke rumah. Biasanya situasi ini terjadi saat malam hari, apalagi pada musim hujan. Makhluk ini terkadang menyangkut di tirai rumah. Tersesat dia dan bingung menemukan jalan keluar.
Kalau siang, lain lagi ceritanya. Mulai ulat bulu, jangkrik, kumbang, hingga jenis serangga lain yang belum pernah saya lihat, muncul di teras rumah. Ada yang nangkring di dahan tetumbuhan, hingga menumpang singgah di bangku keras. Bukan cuma ke rumah kami mereka bertamu. Kediaman tetangga juga kerap menjadi perhentian mereka. Kediaman kami sering didatangi gerombolan makhluk mungil berkaki maksimal.
Bagi kebanyakan orang, serangga-serangga ini agak menggelikan. Mereka sering dianggap mengganggu, apalagi jika sudah masuk ke pemukiman penduduk. Tetapi, tahukah kalau makhluk-makhluk mungil ini sebenarnya bermanfaat untuk menjaga keseimbangan ekosistem?
Kiri : Belalang sembah menyangkut di tirai rumah
Kanan : Kumbang Badak yang berkeliaran di jalanan
Dikutip dari website #Kehati, yaitu www.kehati.or.id, dengan judul artikel Mengapa Jumlah Kecoa dan Lalat Meningkat Dibandingkan Lebah dan Kupu-kupu? Di dalam tulisan ini dijelaskan jika serangga merupakan makanan untuk burung, kelelawar, dan mamalia kecil. Dengan serangga, makhluk-makhluk tersebut dapat menjaga kelangsungan hidupnya.
Namun, habitat serangga yang bermanfaat ini semakin terancam. Banyak penelitian menyebutkan kalau jumlah mereka terus menurun, terutama pada negara-negara maju. Menurut Dr. Francisco SÃ nchez Bayo dari Universitas Sydney kepada BBC News, faktor utama penyebab menurunnya habitat serangga karena praktik pertanian seperti penggunaan pestisida, urbanisasi, dan deforestasi.
Penjelasan ini relevan dengan pengalaman saya pada masa kanak-kanak. Dulu saya biasa melihat kunang-kunang secara langsung. Ekornya memang mengeluarkan cahaya benderang. Indah sekali jika serangga-serangga ini beterbangan malam hari.
Sekarang, meskipun bermukim di daerah yang dikelilingi rumput-rumput dan pepohonan, serangga ini tidak pernah muncul lagi. Jika kerusakan lingkungan tidak diatasi, kelak kunang-kunang hanya menjadi dongeng untuk anak cucu kita kelak.
Selain serangga, ada lagi hewan khas semak-semak yang saya jumpai. Ular, maksudnya. Awalnya, saya jalan-jalan dan melihat ada lubang sebesar koin di tanah bersemak. Saya pernah diberitahu, waspada jika melihat lubang di tanah. Biasanya ada penghuninya.
Benar saja! Sekitar dua meter dari lubang, seekor ular kecil sedang mengamati saya. Ih! Tubuhnya berwarna hitam dan lebih mungil dari belut. Sepanjang punggungnya ada garis kuning melintang, bukan melingkar. Dia menatap saya waspada.
Saking kagetnya, saya langsung kabur dan tak sempat memotret padahal membawa ponsel. Namun, karena penasaran dengan jenisnya, saya langsung mencari informasi seputar ular tersebut di internet.
Ilustrasi ular tikus tembaga oleh AI
Ternyata reptil tersebut adalah ular tikus tembaga. Hewan dengan nama latin Coelognathus flavolineatus, banyak ditemukan di Asia Tenggara. Habitatnya sekitar perkebunan, hutan, semak-semak, serta daerah pemukiman penduduk. Menariknya, ular yang tidak berbisa ini relatif jinak, tidak berbisa dan dapat dijadikan peliharaan. Wow, ada yang tertarik memelihara ular?
Walaupun tidak berbahaya, sebaiknya tetap berhati-hati jika bertemu ular ini. Gigitannya tetap berpotensi menyebabkan infeksi. Tetapi, hindari membunuh mereka. Sesuai namanya, ular ini sering memangsa tikus. Hewan melata ini merupakan salah satu rantai makanan di alam. Keberadaan mereka mengendalikan hama tikus. Ular tikus tembaga membantu pak tani mengatasi serangan hama tikus.
Alam memang rekan terbaik kita mengolah kekayaan. Sekarang tergantung pada kita, apakah kita mau bekerja sama dengan turut menjaga kelestariannya? Karakter kebaikan yang manusia berikan untuk alam, kelak akan dikembalikannya demi menyambung kehidupan kita dan generasi penerus.
Harapan untuk Kelestarian Alam Masa Depan
Bagi saya, yang paling berkesan saat pindah ke lokasi ini adalah melihat langsung areal persawahan. Mungkin untuk sebagian orang ini merupakan hal sepele, tapi berkesan untuk saya. Kenapa berkesan? Dulu zaman sekolah, saya sering menggambar pak tani dan gubuk, tapi sebenarnya belum pernah menginjakkan kaki di sawah.
Saat kanak-kanak, setiap kali ketemu lahan menanam padi ini, saya dilarang bermain di sana. Alasannya, ada ular, lintah, hingga takut terjerembap masuk lumpur. Jadi, saya hanya bisa memandang sawah dari kejauhan.
Kanan : Sawah dan ladang jagung setelah dipanen
Kiri : Sempat memotret padi sebelum dipanen
Sekarang saya bisa melihat sawah dari dekat dan berjalan di pematangnya. Karena masih takut ketemu ular dan lintah, saya memilih menyusuri sawah setelah panen. Lahannya sudah kering dan tidak khawatir terjerembap ke lumpur. Saya pun tidak bertemu hewan-hewan menakutkan. Akhirnya, bisa juga merasakan berjalan di pematang sawah.
Kota besar identik dengan pembangunan. Suatu hari nanti, lahan sawah dan areal ladang penduduk di sini, mungkin berubah menjadi perumahan atau daerah industri. Sudah jadi pengetahuan umum jika pengembangan ini dapat mengakibatkan banjir. Air hujan sudah tidak terserap lagi karena berganti dengan lahan beton. Daerah tertentu di kota ini sudah rawan banjir saat hujan deras turun.
Harapan saya, kalau pun suatu hari nanti pembangunan dilaksanakan, hendaknya para penanggung-jawab perencanaan kota memperhatikan daerah resapan air. Tanah dan tetumbuhan terbukti mampu menangkis banjir yang kerap meresahkan warga. Daerah pemukiman saya tidak pernah banjir meskipun hujan sepanjang hari. Daerah dataran rendah juga aman dari genangan air.
Bukan hanya bebas banjir, pepohonan yang terjaga menjadi habitat bagi beragam fauna yang bermanfaat untuk lingkungan. Hampir setiap hari, saya bisa melihat beragam serangga, reptil, tupai, dan hingga beragam jenis burung, yang berseliweran di sekitar rumah. Jika lingkungan rusak, kelak anak cucu kita hanya mengenal hewan-hewan tersebut dari layar gawai.
Jadi, mari kita terus menjaga alam di dekat pemukiman masing-masing. Semoga lingkungan yang asri dan terawat di sekitar kita tetap terjaga lestari menembus zaman.
Komentar
Posting Komentar