Pasar tradisional sering diidentikkan dengan tempat kumuh. Banyak orang enggan berbelanja ke sana, apalagi sejak pusat perbelanjaan modern mulai menjamur. Dulu saat masih sekolah, saya memiliki teman perempuan yang ogah belanja ke pasar tradisional. Dia selalu menolak jika Ibunya mengajak ke tempat jual beli kebutuhan sehari-hari itu. Alasannya klise, kotor dan berantakan.
Beberapa tahun yang lalu, saya bertemu dengan teman lama ini. Sekarang dia sudah menjadi Ibu dari tiga anak. Kami sempat mengobrol sebentar. Sayangnya, karena keasyikan bertukar cerita, saya lupa bertanya apakah dia masih enggan belanja ke pasar. Mengurus keluarga kecil begitu lumayan biayanya. Pasar tradisional bisa menjadi alternatif belanja rumah tangga yang terjangkau.
Kalau saya sejak kecil senang saja diajak Ibu ke pasar, daripada di rumah cuma bengong. Walaupun bolak-balik ke sana, saya enggak pernah bosan. Ada saja hal-hal baru yang bisa dilihat. Barang-barangnya cukup lengkap dan murah pula. Hanya saja jalanan becek memang mengganggu, apalagi pas musim hujan. Kalau air langit itu sering turun, sudah biasa pulang ke rumah dengan kaki berlepotan lumpur.
Dulu, di pasar ada penjual favorit saya, yaitu penjual daging lembu dan ayam kampung. Selain karena pasti makan enak, menurut saya kedua jenis penjual ini unik. Keunikannya tentu dilihat dari sudut pandang anak-anak. Bagaimana sudut pandang tersebut? Begini ceritanya.
Pasar Tradisional dan Pedagang yang Mengesankan
Abang penjual daging lembu versi dulu berpostur besar dan berotot. Iyalah, memotong lembu, kan, perlu tenaga ekstra. Kalau ceking, lembu malah kabur. Karena bertubuh gede, saya agak takut melihat penjual daging. Selain itu, yang membuat seram karena mereka kerap memegang parang. Di meja samping abang ini, terletak pula kepala lembu dengan mata merem. Lengkap sudah kesan horor pada pikiran polos anak-anak.
Herannya, Ibu saya yang mungil dan kurus berani berdebat harga dengan penjual demikian. Apa Ibu enggak takut dengan parangnya? Tahu sendiri, kan, gimana kalau ratu dapur menawar harga? Mereka mampu menawar sampai harga serendah mungkin. Saya khawatir kalau abang penjual daging marah. Ada parangnya, lho.
Cuma kekhawatiran itu ternyata tak beralasan. Mereka tenang-tenang saja dagangannya ditawar. Ketakutan saya pun enggak berumur lama, hanya selama di pasar. Begitu sampai di rumah dan dimasakkan rendang, takutnya langsung pupus bersama asap dapur. Lain kali, saya mau saja diajak lagi ke sana.
Nah, penjual daging saat ini berbeda. Bukan hanya pria, wanita pun sudah banyak yang menjual daging. Dulu jarang, bahkan hampir tidak ada. Pedagang pria sekarang pun banyak yang kurus. Tukang daging zaman now lebih membumi, perawakannya sama dengan kebanyakan orang. Jadi, enggak terlalu menakutkan lagi. Gimana memotong lembu kalau tubuh minimalis? Bisa, kok, minta tolong sama temannya.
Kalau penjual ayam kampung berbeda lagi. Yang membuat saya tertarik pada mereka adalah kandangnya. Bentuk kurungan ayam dulu tidak seperti sekarang yang dikelilingi kawat. Kandang ayam jadul tampilannya seperti kubus, terbuat dari kayu yang setiap sisinya setinggi 1 meter. Ada pintu kecil pada bagian atas. Nah, penjualnya duduk di atas kubus tersebut. Dia menangkap ayam dengan tongkat yang dimasukkan ke kandang.
Kebetulan di rumah kami ada beberapa ekor ayam. Karena tak punya kandang kubus, maka saya menangkap ayam dengan tongkat. Bisa ditebak, semua unggas kabur. Penasaran, setiap kali ke pasar saya sering mengamati penjual ayam meringkus dagangannya. Kok, dia mudah menangkapnya? Iyalah, sudah biasa. Jadi, setiap kali membeli ayam, saya selalu mengamati gerak-geriknya, walau tak pernah bisa ditiru.
Setelah dewasa, saya tetap belanja ke sana. Tukang daging dan penjual ayam sekarang tentu sudah berbeda. Saat ini, mengamati penjual bukan lagi hobi saya. Menemukan kebutuhan dengan harga terjangkau dan pulang dalam keadaan aman, lebih menjadi prioritas saya. Kenapa?
Berbelanja di pasar sebaiknya tetap mewaspadai tangan jahil. Saya pernah mengalaminya kejadian ikan gembung basah 2 kg raib dari belanjaan, padahal hanya meninggalkan keranjang sebentar. Dalam waktu kurang semenit, lenyaplah satu bungkus. Sejak saat itu, saya jera memakai keranjang karena mudah dipereteli. Sebagai gantinya, saya gunakan plastik keresek besar yang bisa disimpul atas. Saya bawa ke mana pun bergerak. Barulah aman.
Berbelanja di sana juga sebaiknya teliti. Saya pernah berbelanja ikan tujuh ekor, sampai di rumah tinggal lima ekor. Ke mana dua lagi? Apa tadi salah hitung? Sengaja saya coba lagi minggu depan belanja pada penjual yang sama. Ikannya tetap dibeli tujuh ekor. Saya pura-pura tidak melihat ketika penjual membungkus ikan tersebut. Sesampai di rumah, kejadian masih sama karena ikan tinggal lima ekor.
Akhirnya saat ketiga kali belanja, saya ngomong tentang ikan yang berkurang. Dia membantah dengan 1001 alasan. Saya diam saja dan kembali membeli ikan tujuh ekor seperti biasa. Tetapi, sekali ini saya amati dia membungkus ikan pesanan. Tahu apa yang terjadi sampai di rumah? Simsalabim! Ikannya pas tujuh ekor. Hahaha. Sejak saat itu, saya tak pernah lagi membeli ikan pada penjual tadi. Masih banyak pedagang lain.
Tetapi, enggak semua, kok, penjual yang berkelakuan demikian. Masih banyak yang jujur, termasuk dalam hal timbangan. Mereka menggunakan ukuran pas, tanpa ada satu garis pun berkurang. Ibu saya menyuruh supaya penjual demikian ditandai dan terus belanja ke sana. Penjual yang nakal, biarlah dengan kelakuannya sendiri. Pembeli sekarang sudah pintar. Penjual yang jujur biasanya kios mereka ramai pelanggan.
Intinya, di mana pun belanja tetap hati-hati. Kesempatan berbuat curang tetap mengintai kalau kita lengah. Meskipun ada penjual kurang beradab (termasuk pembeli yang terkadang ikut mencari kesempatan), saya enggak kapok belanja ke pasar. Banyak pilihan produk sehari-hari. Harganya ramah di kantong. Kalau ada kejadian aneh seperti di atas, anggap saja latihan mental menghadapi dunia penuh muslihat. Iya, kan?
Meskipun kalah penampilan dari pusat perbelanjaan modern, pasar tradisional tangguh bertahan melewati zaman. Di kota tempat saya bermukim, ada mal yang sudah dirobohkan, padahal dulu sering main-main ke sana. Beda dengan pasar. Walaupun pernah terbakar, tapi tempat sederhana ini direnovasi kembali. Bangunan dan orang-orang yang mencari nafkah di dalamnya tetap bertahan, termasuk ketika pandemi dulu.
Saat pandemi merebak dan mal ditutup, pasar tetap buka seperti biasa. Dari tempat ini warga memperoleh bahan makanan dan nafkah untuk bertahan hidup. Pasar menjadi urat nadi ekonomi bagi masyarakat kala virus menyebar. Meskipun sempat ada berita pedagang yang terinfeksi, tapi banyak yang tetap sehat. Mungkin karena di sana ramai yang menjual buah dan sayur, virusnya tak mempan dan ditelan vitamin dari makanan alami. Logis, kan.
Saat sebagian orang enggan belanja ke pasar karena tampilannya yang kumuh, saya sejak kecil senang saja diajak ke sana. Banyak yang bisa diamati di pasar, daripada hanya melamun di rumah. Yang paling menyenangkan belanja saat kanak-kanak, sebelum pulang dalam keranjang Ibu pasti ada seporsi kue basah atau mi goreng. Nah, melihat menu begini rasa capek keliling pasar langsung hilang. Ya, namanya juga bocil.
Pasar pun bisa menjadi tempat menemukan pengalaman baru, terutama untuk yang hobi wisata kuliner. Beragam makanan tradisional tersedia pada lapak-lapaknya. Santapan jadul yang sulit ditemukan di luar, dapat dibeli di sini. Kebutuhan sehari-hari pun dijual dengan harga miring. Okelah, secara kualitas tentu berbeda dari barang mal. Tetapi, lumayan juga untuk menghemat anggaran.
Pasar Tradisional dan Saksi Bisu Sejarah
Jumlah pasar di tanah air sudah banyak, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Menurut data Profil Pasar yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlahnya di Indonesia mencapai 16.235 pasar. Jumlah ini meningkat dari tahun 2019 yang tercatat 15.657 pasar.
Selain sebagai transaksi jual beli, pasar juga mencatat sejarah sebagai bangunan tertua. Di Yogyakarta, ada pasar Legi Kotagede yang dibangun tahun 1549. Kemudian di Jakarta ada pasar Senen yang berdiri pada tahun 1735. Tempat-tempat ini merupakan saksi bisu sejarah bangsa kita.
Untuk yang masih geli ke pasar, jangan khawatir. Sekarang banyak lokasi perbelanjaan ini direnovasi menjadi lebih modern dan bersih. Meskipun demikian, harga komoditinya masih tetap terjangkau. Walau tanpa embusan AC, pasar tetap layak menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gengsi belakangan, yang penting hepi dulu bisa membeli barang-barang yang dibutuhkan.
Jadi, kapan belanja ke sana?
Komentar
Posting Komentar